Minggu, 25 Juli 2010

Ibadah Haji Rasulullah SAW

KISAH IBADAH HAJI RASULULLAH S.A.W.

oleh: Drs. H. Irfan Anshory

IBADAH HAJI sebagai Rukun Islam yang kelima mulai diwajibkan Allah SWT pada tahun 4 Hijri (625 M). Allah menetapkan bahwa syari`at haji dari Nabi Ibrahim a.s. wajib dilaksanakan umat Islam dengan turunnya ayat Al-Qur’an: “Dan kewajiban kepada Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang ingkar akan kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam” (Ali Imran 97). Ayat ini menegaskan bahwa ibadah haji diwajibkan “bagi mereka yang mampu melakukan perjalanan ke sana” (manistatha`a ilayhi sabila), yaitu mampu dalam hal fisik (sehat), finansial (mempunyai biaya), dan sekuriti (aman tiada gangguan). Ketika perintah haji itu diwahyukan Allah, Makkah sedang dikuasai kaum musyrikin yang memusuhi kaum Muslimin di Madinah. Kondisi itu sudah tentu tidak memungkinkan bagi Nabi Muhammad s.a.w. beserta para shahabat untuk segera menunaikan ibadah haji.

Akan tetapi Rasulullah s.a.w. memerintahkan para shahabat yang mampu, terutama kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang-orang Makkah, untuk menunaikan ibadah haji yang sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim a.s. dan tidak mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari berhaji, orang-orang Anshar ini melapor kepada Rasulullah s.a.w. bahwa mereka mengerjakan sa`i dengan keraguan, sebab di tengah mas`a (jalur sa`i) antara Safa dan Marwah terdapat dua berhala besar Asaf dan Na’ilah. Maka turunlah wahyu Allah, yaitu Al-Baqarah 158: “Sesungguhnya Safa dan Marwah sebagian dari monumen-monumen Allah. Maka barangsiapa berhaji ke Baitullah atau berumrah, tidak salah baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui”. Ayat ini kelak sering dibaca oleh para jemaah haji ketika melakukan sa`i.

Pada bulan Dzulqa`dah 6 Hijri (April 628), Nabi Muhammad s.a.w. bermimpi menunaikan umrah ke Makkah, lalu mengajak para shahabat untuk merealisasikan mimpi tersebut. Maka Rasulullah s.a.w. beserta sekitar 1500 shahabat berangkat menuju Makkah, mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan qurban. Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalang-halangi, sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Makkah. Kaum Quraisy mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan Rasulullah s.a.w. Suhail mengusulkan kesepakatan genjatan senjata antara Makkah dan Madinah, serta kaum Muslimin harus menunda umrah (kembali ke Madinah) tetapi tahun depan diberikan kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Makkah. Di luar dugaan para shahabat, ternyata Rasulullah s.a.w. menyetujui usul Suhail itu! Sepintas lalu isi perjanjian kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi secara politis sangat menguntungkan. “Perjanjian Hudaibiyah” merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam, sebab untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Makkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.

Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan pulang kembali ke Madinah, turunlah wahyu Allah dalam Al-Fath 27: "Sungguh Allah membenarkan mimpi rasul-Nya dengan sebenar-benarnya, bahwa kamu sekalian pasti akan memasuki Masjid al-Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (tahallul merampungkan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat!"

Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Dzulqa`dah 7 Hijri atau Maret 629) Rasulullah s.a.w. beserta para shahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombongan Nabi yang berjumlah sekitar 2000 orang memasuki pelataran Ka`bah untuk melakukan thawaf, orang-orang Makkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak-teriak bahwa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah s.a.w. bersabda kepada jemaah beliau, “Marilah kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan thawaf dengan berlari!”

Sesudah mencium Hajar Aswad, Rasulullah s.a.w. dan para shahabat memulai thawaf dengan berlari-lari mengelilingi Ka`bah, sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat, setelah orang-orang usil di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah s.a.w. mengajak para shahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunnah thawaf di kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idhthiba’) serta berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama khusus pada thawaf yang pertama. Selesai tujuh putaran, Rasulullah s.a.w. shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim, kemudian minum air Zamzam. Sesudah itu Rasulullah melakukan sa`i antara Safa dan Marwah, dan akhirnya melakukan tahallul (menghalalkan kembali larangan-larangan ihram) dengan mencukur kepala beliau.

Ketika masuk waktu zuhur, Rasulullah s.a.w. menyuruh Bilal ibn Rabah naik ke atap Ka`bah untuk mengumandangkan azan. Suara azan Bilal menggema ke segenap penjuru, sehingga orang-orang Makkah berkumpul ke arah 'suara aneh' yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang shalat berjamaah. Hari itu, 17 Dzulqa`dah 7 Hijri (17 Maret 629), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Makkah dan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi imam shalat di depan Ka`bah!

Rasulullah s.a.w. dan para shahabat, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, hanya tiga hari berada di Makkah, kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi kegiatan kaum Muslimin di Makkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tidak lama sesudah itu, tiga orang terkemuka Quraisy, yaitu Khalid ibn Walid, Amru ibn Ash dan Utsman ibn Thalhah, menyusul hijrah ke Madinah dan masuk Islam. Di kemudian hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), Khalid ibn Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina serta Amru ibn Ash membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi. Adapun Utsman ibn Thalhah dan keturunannya diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Ka`bah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Ka`bah silih berganti sampai Dinasti Sa`udi sekarang, kunci Ka`bah tetap dipegang oleh keturunan Utsman ibn Thalhah dari Bani Syaibah.

Beberapa bulan sesudah Rasulullah s.a.w. berumrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian genjatan senjata, sehingga pada 20 Ramadhan 8 Hijri (11 Januari 630) Rasulullah s.a.w. beserta 10.000 pasukan menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Rasulullah s.a.w. memberikan amnesti massal kepada warga Makkah yang dahulu memusuhi kaum Muslimin. "Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang," demikian sabda Rasulullah s.a.w. mengutip ucapan Nabi Yusuf a.s. yang tercantum dalam Surat Yusuf 92.

Kesucian hati Rasulullah s.a.w. yang tanpa rasa dendam ini menyebabkan seluruh orang Quraisy masuk Islam. Turunlah Surat An-Nasr: “Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan, engkau melihat manusia masuk kepada agama Allah berbondong-bondong. Sucikan dan pujilah Tuhanmu serta memohon ampunlah pada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat.” Setelah menerima ayat ini, Rasulullah s.a.w. pada ruku` dan sujud dalam shalat mengucapkan Subhanakallahumma rabbana wa bihamdika, allahummaghfirli (“Maha Suci Engkau, Ya Allah Tuhan kami, dan pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah daku”).

Rasulullah s.a.w. segera memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Ka`bah serta membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan dan mengembalikannya kepada sya`riat Nabi Ibrahim yang asli. Pada tahun 8 Hijri itu Rasulullah melakukan umrah dua kali, yaitu ketika menaklukkan Makkah serta ketika beliau pulang dari Perang Hunain. Ditambah dengan umrah tahun sebelumnya, berarti Rasulullah sempat melakukan umrah tiga kali, sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun 10 Hijri.

Pada bulan Dzulhijjah 9 Hijri (Maret 631), Rasulullah s.a.w. mengutus shahabat Abu Bakar Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak ikut lantaran sedang menghadapi Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Abu Bakar Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan Dekrit Rasulullah, berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah 28 yang baru diterima Nabi, bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjid al-Haram dan menunaikan ibadah haji, karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran tauhid dari Nabi Ibrahim a.s.

Pada tahun 10 Hijri (631/632 Masehi) Semenanjung Arabia telah dipersatukan di bawah kekuasaan Nabi Muhammad s.a.w. yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawwal 10 Hijri (awal tahun 632) Rasulullah s.a.w. mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh umat dari segala penjuru, sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah s.a.w. dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tatacara) haji.

Rasulullah s.a.w. berangkat dari Madinah sesudah shalat Jum`at tanggal 25 Dzulqa`dah 10 Hijri (21 Februari 632), mengendarai unta beliau Al-Qashwa’, dengan diikuti sekitar 30.000 jemaah. Seluruh istri beliau ikut serta, dan juga putri beliau Fatimah. Sesampai di Dzulhulaifah yang hanya belasan kilometer dari Madinah, rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Di sini istri Abu Bakar Shiddiq, Asma’, melahirkan putra yang diberi nama Muhammad. Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah, tetapi Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa Asma’ cukup mandi bersuci, lalu memakai pembalut yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji. Muhammad ibn Abi Bakar yang lahir di Dzulhulaifah itu kelak menjadi Gubernur Mesir pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (656-661).

Keesokan harinya, Sabtu 26 Dzulqa`dah (22 Februari), setelah semuanya siap untuk berihram, Rasulullah s.a.w. menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh jemaah mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (“Inilah saya, Ya Allah, untuk berhaji”). Tidak ada yang berniat umrah, sebab menurut tradisi saat itu umrah hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji (Tamattu`, Ifrad, Qiran) yang kita kenal sekarang baru diajarkan Rasulullah s.a.w. di Makkah delapan hari berikutnya. Rombongan menuju Makkah dengan tiada henti mengucapkan talbiyah. Pada Sabtu 3 Dzulhijjah (29 Februari), mereka tiba di Sarif, 15 km di utara Makkah, kemudian beristirahat. Aisyah, istri Nabi, kedatangan masa haidnya, sehingga dia menangis karena khawatir tidak dapat menunaikan haji. Rasulullah menghiburnya, “Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah untuk putri-putri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua manasik haji, kecuali thawaf sampai engkau suci.”

Pada Ahad 4 Dzulhijjah (1 Maret) pagi, Rasulullah s.a.w. dan rombongan memasuki Makkah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan total jemaah haji mencapai lebih dari 100.000 orang. Rasulullah s.a.w. memasuki Masjid al-Haram melalui gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam (‘Pintu Kedamaian’) di samping telaga Zamzam di belakang Maqam Ibrahim. Perlu diketahui bahwa yang disebut “Masjid al-Haram” saat itu adalah lapangan tempat shalat dan thawaf (secara harfiah, masjid artinya ‘tempat sujud’), sedangkan bangunan masjid baru dirintis oleh Khalifah Umar ibn Khattab (634-644), lalu mengalami perluasan dari masa ke masa sehingga akhirnya megah seperti sekarang.

Juga perlu dijelaskan bahwa Rasulullah s.a.w. tidak pernah memerintahkan masuk masjid harus dari gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam. Beliau masuk pintu itu karena memang datang dari arah utara! Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi. Ketika pada tahun 1957 Masjid al-Haram diperluas sehingga tempat sa`i termasuk Safa dan Marwah menjadi bagian masjid, pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu di antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu Bab as-Salam. Sekarang banyak jemaah haji berusaha masuk Masjid al-Haram dari Pintu Bab as-Salam ‘made in Saudi’ ini dengan anggapan melaksanakan Sunnah Nabi!

Pada awal setiap putaran thawaf, jemaah haji disunnahkan untuk memberikan penghormatan (istilam) kepada Hajar Aswad di pojok tenggara Ka`bah. Rasulullah s.a.w. memberikan empat cara istilam tersebut. Ketika umrah pertama kali tahun 7 Hijri, beliau mengecup Hajar Aswad. Ketika penaklukan Makkah tahun 8 Hijri, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar Aswad dari atas unta. Ketika umrah saat pulang dari Hunain, Hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan. Ketika beliau haji tahun 10 Hijri, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad. Cara terakhir ini sangat praktis dan paling afdhal. Tetapi banyak jemaah haji sekarang yang bersikut-sikutan untuk mengecup Hajar Aswad. Hanya karena penasaran, dia rela melakukan yang haram (menyakiti sesama jemaah) untuk mengejar yang sunnah!

Rasulullah s.a.w. melakukan thawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah satu istri beliau, berthawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melewati Rukun Yamani Rasulullah s.a.w. cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling populer: Rabbana atina fi d-dunya hasanah wa fi l-akhirati hasanah wa qina `adzaba n-nar (“Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka”). Setelah selesai tujuh putaran, beliau shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau.

Sesudah itu Rasulullah s.a.w. menuju bukit Safa untuk memulai sa`i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Ka`bah, bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwah, dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwah 240 meter.) Sesampai di Marwah Rasulullah s.a.w. melakukan apa yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah bolak-balik sebanyak tujuh kali.

Setelah selesai sa`i, Rasulullah s.a.w. di Marwah menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan para shahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya: beliau memerintahkan seluruh shahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban) agar mengubah niat haji menjadi umrah, padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim haji! Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jemaah haji yang tidak membawa hadyu dapat bertahallul (bebas dari larangan ihram) dan baru berihram lagi untuk haji tanggal 8 Dzulhijjah. Oleh karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Dzulhijjah) atau Hari-Hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah) mereka harus menyediakan hewan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattu`, artinya ‘bersenang-senang’, sebab masa berihram hanya beberapa hari saja.

Pada mulanya para shahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi s.a.w. karena “umrah di musim haji” belum pernah ada, apalagi Nabi sendiri ternyata tidak bertahallul! Melihat keraguan para shahabat, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Seandainya aku tidak membawa hadyu, aku pun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku membawa hadyu, sehingga aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyuku.” Ada juga shahabat yang penasaran bertanya, “Tahallul untuk apa saja, Ya Rasulullah?” “Tahallul untuk semuanya!” jawab Nabi.

Kemudian Rasulullah s.a.w. mengeluarkan dekrit: Dakhalati l-`umratu ila l-hajji abadan abadan (“Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya”). Artinya, sejak saat itu umrah dapat dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah haji! Mendengar penegasan Rasulullah s.a.w., para shahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu mengubah niat haji menjadi umrah, lalu bertahallul secara massal. Hanya Rasulullah s.a.w. dan sebagian kecil shahabat yang terus berihram (tidak bertahallul) sebab mereka membawa hadyu.

Sejak hari itu, 4 Dzulhijjah 10 Hijri, mulailah diperkenalkan tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattu` atau ‘bersenang-senang’ (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau ‘mandiri’ (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Makkah yang membawa hadyu. Ketiga, Haji Qiran atau ‘gabungan’ (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Makkah yang membawa hadyu. Cara terakhir inilah, yaitu Haji Qiran, yang dikerjakan Rasulullah s.a.w. Sesudah mengerjakan haji, Rasulullah s.a.w. tidak lagi melakukan umrah secara terpisah dan langsung kembali ke Madinah tanggal 14 Dzulhijjah.

Perlu diketahui bahwa cara Haji Tamattu` bukanlah inovasi Rasulullah s.a.w., melainkan memang diperintahkan Allah sebagai keringanan bagi umat-Nya, melalui wahyu yang turun ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan tertahan di Hudaibiyah tahun 6 Hijri, tetapi baru pada tahun 10 Hijri Rasulullah s.a.w. berkesempatan menunaikan haji dan menerapkan pelaksanaannya. Ayat perintah tamattu` itu kini tercantum dalam Al-Baqarah 196: tamatta`a bi l-`umrati ila l-hajj (“bersenang-senang dengan umrah ke haji”) bagi mereka yang bukan penduduk Makkah, li man lam yakun ahluhu hadhiri l-masjidi l-haram (“bagi siapa yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjid al-Haram”).

Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan berangkat dari Dzulhulaifah tanggal 26 Dzulqa`dah, semuanya berniat haji dan tidak seorang pun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri Rasulullah s.a.w., di kemudian hari, “Kami keluar bersama Nabi s.a.w. hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan thawaf dan sa`i (‘kami’ di sini adalah jemaah haji, sebab Aisyah sedang haid), barulah Rasulullah s.a.w. memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk bertahallul.” Keterangan Jabir ibn Abdillah r.a., shahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah haji Rasulullah s.a.w., lebih tegas lagi, “Kami bertujuan haji yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan umrah, sebab kami tidak mengenal umrah (lasna na`rifu l-`umrah)”. Maksud Jabir tentu tidak mengenal “umrah di musim haji”, sebab ketika rombongan berada di Dzulhulaifah ‘sistem lama’ (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan oleh Rasulullah s.a.w.

Rasulullah s.a.w. sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat untuk menerapkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 196, agar umat tidak terkejut dengan ‘sistem baru’ (haji harus disertai umrah). Ketika Rasulullah s.a.w. dan rombongan beristirahat di Sarif tanggal 3 Dzulhijjah sebelum masuk Makkah, beliau mulai melakukan sosialisasi sistem baru dengan mengumumkan kepada jemaah haji, “Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu menjadi umrah.” Di sini Rasulullah s.a.w. hanya menghimbau, dengan kalimat ‘siapa mau’ (man sya’a). Esok harinya, tanggal 4 Dzulhijjah 10 Hijri (1 Maret 632), ketika semua jemaah haji dari berbagai penjuru sudah berkumpul di Makkah, serta jemaah telah santai karena sudah melaksanakan thawaf dan sa`i, barulah Rasulullah s.a.w. menginstruksikan cara Haji Tamattu` bagi mereka yang tidak membawa hadyu dan mendekritkan terintegrasinya umrah ke dalam haji. Hal ini pun ternyata menimbulkan suasana heboh di kalangan para shahabat, sampai-sampai Rasulullah s.a.w. sebagai manusia normal sedikit emosi melihat para shahabat pada awalnya enggan ‘meralat’ niat haji menjadi umrah.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa untuk jemaah haji Indonesia yang sudah tentu bukan pribumi Makkah dan boleh dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah (jika ada yang berminat meniru Nabi membawa hadyu, alangkah repotnya kondisi di pesawat udara, sehingga besar kemungkinan tidak diperkenankan oleh pihak Garuda!), tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah s.a.w. untuk mengambil cara Haji Tamattu`. Hal ini berlaku baik bagi jemaah Gelombang Pertama (yang ke Madinah dahulu) maupun bagi jemaah Gelombang Kedua (yang langsung ke Makkah).

Kita teruskan cerita. Siang hari tanggal 4 Dzulhijjah itu Rasulullah s.a.w. mengajak Bilal ibn Rabah sang mu’azzin, dan cucu beliau, Usamah ibn Zaid (putra anak angkat beliau, Zaid ibn Haritsah, yang syahid pada Perang Mu’tah tahun 7 Hijri) untuk memasuki Ka`bah, disertai oleh pemegang kunci Ka`bah, Utsman ibn Thalhah. Ketika pulang dari Ka`bah dan menemui Aisyah, Rasulullah s.a.w. berkata, “Wahai Aisyah, aku tadi melakukan apa yang sebaiknya tidak kulakukan, yaitu memasuki Ka`bah. Aku takut di kemudian hari umatku yang berhaji tidak dapat masuk Ka`bah lalu mereka kecewa. Padahal sesungguhnya kita hanya diperintahkan Allah untuk mengelilinginya, dan tidak diperintahkan memasukinya.”

Pada sore hari 4 Dzulhijjah, Ali ibn Abi Thalib r.a., saudara sepupu dan menantu Nabi s.a.w. yang sejak bulan Ramadhan beliau perintahkan memimpin pasukan ke Yaman, tiba di Makkah beserta rombongannya dengan berpakaian ihram. Jika rombongan Rasul mulai berihram di Dzulhulaifah, maka rombongan Ali mulai berihram di Yalamlam. Setibanya di Makkah, Ali langsung menemui Fatimah. Ali yang belum mengetahui adanya ‘sistem baru’ jelas terkejut melihat istrinya berpakaian bebas dengan rambut terurai. “Siapakah yang menyuruhmu bertahallul, Fatimah?” tegur Ali. “Ayahanda sendiri,” jawab Fatimah, “istri-istri beliau pun semuanya diperintahkan melakukan tahallul.” Ali segera menemui Rasulullah s.a.w. untuk meminta penjelasan. Setelah Rasulullah s.a.w. menerangkan syari`at Tamattu`, Ali memohon agar diperkenankan tidak bertahallul seperti Rasulullah. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda, “Kalau begitu kehendakmu, janganlah engkau mengakhiri ihrammu.” Rasulullah lalu memberikan sebagian hewan hadyu beliau kepada Ali ibn Abi Thalib.

Menjelang maghrib, Rasulullah s.a.w. didatangi saudara sepupu beliau, Ummu Hani’ binti Abi Thalib (kakak perempuan Ali), yang menawarkan agar Rasulullah s.a.w. tinggal di rumahnya. Namun Rasulullah s.a.w. menjawab bahwa beliau ingin tetap bersama-sama dengan kebanyakan jemaah yang berdiam di tenda-tenda. Selama di Makkah Rasulullah s.a.w. dan istri-istri beliau tinggal di daerah Muhashshab.

Dari tanggal 5 sampai 7 Dzulhijjah (2-4 Maret), Rasulullah s.a.w. melakukan kegiatan-kegiatan: memimpin shalat di Masjid al-Haram, melakukan thawaf sunnat, dan shalat sunnat di Hijir Isma`il. Meskipun dalam keadaan berihram, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah tempat lahir beliau di Suq al-Layl dan berziarah ke kuburan istri yang paling beliau cintai, Khadijah al-Kubra, yang terletak di Ma’la. Beliau juga menghapuskan kebiasaan aneh pada masa Jahiliyah: orang yang berihram tidak boleh memasuki rumah dari pintu, tetapi harus membuat lubang di belakang rumah atau masuk lewat atap! Tradisi yang entah dari mana asalnya ini dilarang oleh Nabi s.a.w. berdasarkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 189.

Pada hari Kamis 8 Dzulhijjah (5 Maret), Rasulullah s.a.w. memerintahkan umat beliau yang memakai cara Tamattu` kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Mereka yang memakai cara Ifrad atau Qiran, termasuk beliau sendiri, memang sudah dalam keadaan berihram sebab sesudah thawaf dan sa`i tanggal 1 Maret mereka tidak bertahallul. Manasik haji yang beliau terapkan di Arafah, Muzdalifah dan Mina sangat perlu kita cermati, sebab manasik ini merupakan ‘sistem baru’ yang berbeda dengan ‘sistem lama’ (cara Jahiliyah), berdasarkan aturan Ilahi dalam Al-Baqarah 196-203 yang diwahyukan tahun 6 Hijri dan baru sempat diterapkan pada ibadah haji Rasulullah s.a.w. tahun 10 Hijri.

Pada tanggal 8 Dzulhijjah pagi, Rasulullah s.a.w. beserta jemaah haji pergi menuju Mina (6 km dari Makkah) untuk mempersiapkan air, sebab mulai tanggal 10 Dzulhijjah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Dzulhijjah disebut Hari Tarwiyah (tarwiyah artinya ‘mempersiapkan air’). Di zaman modern sekarang, meskipun air di Mina berlimpah sehingga para jemaah tidak perlu tarwiyah (mempersiapkan air), sebagian besar ulama tetap berpendapat bahwa pergi ke Mina tanggal 8 Dzulhijjah merupakan sunnah haji yang sangat dianjurkan. Paling tidak, hal itu perlu kita lakukan untuk ‘napak tilas’ perjalanan Rasulullah s.a.w. ketika beliau menunaikan haji.

Namun perlu dipertimbangkan bahwa sekarang pemerintah Arab Saudi terus-menerus membongkar rumah-rumah di Mina, agar kapasitas Mina tetap memadai dalam menampung jemaah haji yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Akibatnya berlaku hukum ekonomi: ongkos sewa rumah di Mina semakin mahal sehingga jemaah haji yang ingin singgah di Mina tanggal 8 Dzulhijjah harus mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar.

Pada hari Jum`at 9 Dzulhijjah (6 Maret) sesudah matahari terbit, Rasulullah s.a.w. dan seluruh jemaah haji berangkat menuju Arafah, 19 km dari Mina ke arah timur. Ketika melewati Muzdalifah, kaum Quraisy berharap agar Rasulullah s.a.w. berhenti, sebab selama ini kaum Quraisy selalu berwuquf di Muzdalifah sedangkan yang berwuquf di Arafah adalah mereka yang bukan suku Quraisy. Maka Rasulullah s.a.w. memerintahkan agar seluruh jemaah haji tanpa kecuali kembali kepada syari`at asli Nabi Ibrahim a.s. untuk berwuquf di Arafah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 199: Afidhu min haitsu afadha n-nas (“Membanjirlah kamu dari tempat membanjirnya manusia”).

Sebelum masuk Arafah Rasulullah s.a.w. singgah di Namirah, dan ketika masuk waktu zuhur (matahari tergelincir ke barat) beliau pergi ke tengah Padang Arafah. Rasulullah s.a.w. menghentikan unta beliau, Al-Qashwa’, di suatu tempat yang ketinggian. Di samping beliau berdiri Rabi`ah ibn Umayyah yang mempunyai suara keras dan lantang, dan ditugasi untuk menyambung suara Nabi agar jelas terdengar oleh puluhan ribu jemaah yang hadir. Kemudian Rasulullah s.a.w. memberikan khutbah yang isinya antara lain sebagai berikut:

“Wahai manusia (Ayyuha n-nas), dengarkanlah kata-kataku agar aku terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kamu di tempat wuquf ini sesudah tahun ini. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu darah sesamamu dan harta sesamamu sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan Tuhanmu dan Dia pasti akan menanyai kamu tentang segala perbuatanmu.”

“Wahai manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang itu kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis riba’ dihapuskan, dan kamu boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat zalim dan kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak boleh ada riba’ lagi, dan riba’ yang pertama kuhapuskan adalah riba’ dari Abbas ibn Abdil-Muttalib seluruhnya. Semua pertumpahan darah di masa jahiliyah harus ditinggalkan tanpa balas dendam. Hutang darah yang pertama kuhapuskan adalah darah Rabi`ah ibn Harits ibn Abdil-Muttalib yang dibunuh oleh Hudzail.”

“Wahai manusia, sesungguhnya syaithan telah putus asa untuk terus disembah-sembah di negerimu ini. Akan tetapi dia akan puas dengan ditaati dalam hal-hal selain itu, yaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu bahwa itu salah tetapi tetap kamu perbuat. Maka waspadalah terhadap syaithan dalam hal agamamu. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istri-istrimu dan mereka pun mempunyai hak terhadapmu. Bertaqwalah kamu kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu sebab kamu telah mengambil mereka dengan amanat Allah.”

“Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu sesuatu, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu sesuatu yang terang dan nyata: Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, dan tidaklah halal seseorang mengambil milik saudaranya kecuali dia memberikan dengan rela.”

“Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhanmu cuma satu, dan sungguh ayah kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling taqwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari orang bukan Arab melainkan lantaran taqwa.”

Di sela-sela khutbah, Rasulullah s.a.w. berulang kali bertanya kepada puluhan ribu umat yang hadir, “Wahai manusia, apakah aku telah menyampaikan?” Jemaah haji serempak menjawab, “Benar, telah engkau sampaikan.” Maka Rasulullah s.a.w. mengacungkan tangan beliau ke langit sambil berseru, “Allahumma, isyhad! Wahai Allah, saksikanlah!” Kemudian Rasulullah s.a.w. menutup khutbah beliau dengan bersabda, “Hendaklah kamu yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga orang yang menyampaikan akan lebih dalam penghayatannya daripada yang sekadar mendengarkan. Berlimpahlah rahmat dan berkat Allah atas kamu sekalian.”

Selesai berkhutbah Rasulullah s.a.w. turun dari unta, lalu memimpin shalat zuhur dan asar secara jama` dan qasar. Kemudian beliau menuju Sakhrat, batu karang di kaki bukit Jabal Rahmah. Di sini Rasulullah s.a.w. menerima wahyu Al-Ma’idah 3: Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu `alaykum ni`mati wa radhitu lakumu l-islama dina (“Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku lengkapkan untukmu nikmat-Ku dan Aku relakan bagimu Islam sebagai agamamu”).

Ketika Rasulullah s.a.w. menyampaikan wahyu yang baru beliau terima kepada para shahabat, Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar ibn Khattab bertanya, “Apakah yang kau tangisi, wahai Abu Bakar? Bukankah kita seharusnya bergembira bahwa agama kita telah sempurna?” Abu Bakar menjawab, “Tidak terpikir olehmu, wahai anak Khattab, wahyu itu merupakan isyarat bahwa Rasulullah s.a.w. mungkin cuma sebentar lagi bersama-sama dengan kita.”

Rasulullah s.a.w. memerintahkan umatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu wuquf. “Haji itu di Arafah,” sabda beliau. “Allah mengutus para malaikat ke langit dunia untuk merekam segala permohonan anak cucu Adam yang wuquf di Arafah.” Sambil menghadap kiblat, Rasulullah s.a.w. dan para shahabat memuji dan mengagungkan Allah, berzikir dan berdoa, memohon ampun atas segala dosa, membaca ayat-ayat Qur’an dan memperbanyak talbiyah.

Setelah matahari terbenam, Rasulullah s.a.w. mengajak para jemaah haji untuk berangkat menuju Muzdalifah (Masy`ar al-Haram), sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 198: Fa idza afadhtum min `arafatin fa dzkuru l-Laha `inda l-masy`ari l-haram (“Maka ketika kamu membanjir dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`ar al-Haram”). Rasulullah s.a.w. mengajak Usamah ibn Zaid untuk duduk di punggung unta Al-Qashwa’. Di zaman jahiliyah sudah menjadi kebiasaan untuk secepat mungkin meninggalkan Arafah dengan setengah berlari. Maka Rasulullah s.a.w. melarang cara yang tergopoh-gopoh ini. “Tenang, jangan bergegas. Hendaklah yang kuat di antaramu membantu dan mengawasi yang lemah,” demikian sabda beliau.

Sesampai di Muzdalifah, yang berjarak 14 km dari Arafah, Rasulullah s.a.w. dan rombongan menunaikan shalat maghrib dan isya secara jama` dan qasar. Rasulullah s.a.w. dan sebagian besar jemaah haji bermalam di Muzdalifah, tetapi beliau mengizinkan orang-orang yang lemah, wanita dan anak-anak berangkat ke Mina (5 km dari Muzdalifah) sesudah tengah malam, supaya dapat melontar jumrah sebelum massa membanjir datang. Sawdah, istri Nabi yang paling gemuk, memohon izin untuk pergi ke Mina malam itu juga sebab tubuhnya tidak kuat berdesak-desakan. Rasulullah s.a.w. mengizinkan dan mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu Rasul yang masih remaja, Abdullah ibn Abbas ibn Abdil-Muttalib. Di kemudian hari, Abdullah ibn Abbas ini menjadi salah seorang perawi hadits Nabi yang termasyhur.

Sesudah shalat shubuh di Muzdalifah, Rasulullah s.a.w. memimpin jemaah haji menuju Mina. Kini yang beliau ajak membonceng di punggung Al-Qashwa’ adalah sepupu beliau Fadhil ibn Abbas (kakaknya Abdullah). Ketika melewati lembah Muhassir, Rasulullah s.a.w. menyuruh para jemaah haji mempercepat langkah seraya bersabda, “Bersegeralah melewati Muhassir, sebab di lembah ini ashhabu l-fil (pasukan gajah) Abrahah dimusnahkan burung Ababil.”

Pada hari Sabtu 10 Dzulhijjah (7 Maret) pagi hari Rasulullah s.a.w. dan rombongan sampai di Mina. Beliau tidak mampir di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju Jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada musim haji tahun 621 (setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, persis di atas jumrah, Rasulullah s.a.w. menerima ikrar sumpah setia dari para wakil masyarakat Anshar (suku Aws dan Khazraj) yang mengundang beliau untuk berhijrah ke kota mereka, Yatsrib atau Madinah.

Berbeda dengan Jumrah Ula dan Jumrah Wustha yang berada di lapangan terbuka, Jumrah Aqabah terletak di kaki bukit. Itulah sebabnya penampung batu lontaran di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan di Jumrah Aqabah cuma setengah lingkaran karena terhalang cadas bukit. Di kemudian hari, meskipun bukit Aqabah sudah dipapas rata dengan tanah, Jumrah Aqabah selama berabad-abad dibiarkan tetap dikelilingi setengah lingkaran. Baru pada tahun 2004, pemerintah Arab Saudi mengubah penampung batu lontaran di Jumrah Aqabah menjadi lingkaran penuh seperti dua jumrah yang lain.

Pada tanggal 10 Dzulhijjah itu Rasulullah s.a.w. melontar Jumrah Aqabah dengan batu kerikil sebanyak tujuh kali, dan bertakbir pada setiap lontaran. Inilah perlambang usaha penolakan terhadap syaithan, meniru tindakan Nabi Ibrahim a.s. yang digoda syaithan tatkala akan menyembelih putranya, Nabi Isma`il a.s. Sesudah melontar Rasulullah s.a.w. berdoa: Allahuma j`alhu hajjan mabruran wa sa`yan masykuran wa dzanban maghfuran (“Ya Allah, jadikanlah hal ini sebagai haji yang bermutu, usaha yang diterima, dan dosa yang terampuni”). Kemudian Rasulullah s.a.w. menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor disembelih oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah itu Rasulullah s.a.w. melakukan tahallul dengan menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau. Khalid ibn Walid dan Suhail ibn Amr memunguti rambut-rambut beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke muka mereka sambil menangis, karena menyesali perbuatan mereka sebelum masuk Islam.

Selanjutnya Rasulullah s.a.w. pergi ke Makkah untuk melakukan thawaf mengelilingi Ka`bah. Setelah shalat zuhur beliau kembali ke Mina. Oleh karena Rasulullah s.a.w. mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Dzulhijjah itu beliau tidak melakukan sa`i di antara Safa dan Marwah. Sa`i beliau cukup satu kali pada saat masuk Makkah yang sudah mencakup sa`i haji dan umrah. Tetapi sebagian besar para shahabat melakukan sa`i tanggal 10 Dzulhijjah atau sesudahnya, karena mereka mengambil cara Haji Tamattu` sesuai perintah Rasulullah s.a.w. Inilah sa`i haji bagi para shahabat yang Tamattu`, sebab sa`i mereka pada hari pertama masuk Makkah adalah sa`i umrah saja dan belum sa`i haji.

Rasulullah s.a.w. memberikan kelonggaran pada jemaah haji untuk melakukan manasik-manasik di atas dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta thawaf dan sa`i boleh dilakukan secara acak, tidak usah berurutan. Para jemaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat dikerjakan. Bahkan manasik-manasik di atas tidak harus semuanya terlaksana pada Hari Nahar (10 Dzulhijjah). Penyembelihan hadyu boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah). Thawaf dan sa`i boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq, bahkan boleh dilakukan sesudah jemaah pulang dari Mina asalkan masih dalam bulan Dzulhijjah. Juga boleh dilakukan urutan seperti ini: dari Muzdalifah jemaah haji langsung ke Makkah melakukan thawaf dan sa`i, lalu tahallul mencukur atau menggunting rambut di Marwah, kemudian baru ke Mina untuk melontar jumrah dan menyembelih hadyu. “Kerjakan saja, tidak apa-apa. If`al, la haraj,” demikianlah selalu jawaban Rasulullah s.a.w. ketika beliau ditanya oleh para shahabat mengenai urutan manasik-manasik di atas.

Apapun urutan manasik yang dipilih oleh para jemaah haji, Rasulullah s.a.w. menginstruksikan para jemaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam Hari Tasyriq, kecuali mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap. Rasulullah s.a.w. mengizinkan paman beliau, Abbas ibn Abdil-Muttalib, bermalam di Makkah untuk mengelola siqayah (air Zamzam untuk jemaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Nabi s.a.w. untuk tidak menginap di Mina.

Pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah s.a.w. dan para jemaah haji melontar secara berturut-turut Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan akhirnya Jumrah Aqabah, masing-masing tujuh lontaran. Beliau berdoa sesudah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera pergi setelah melontar Jumrah Aqabah. Rasulullah s.a.w. memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar pada siang hari untuk melakukannya di malam hari. Juga bagi orang yang sakit, lanjut usia, lemah, anak kecil atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.

Di masa jahiliyah kaum musyrikin Quraisy menggunakan waktu luang di Mina untuk saling membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang masing-masing. Rasulullah s.a.w. melarang kebiasaan takabur ini dan menggantinya dengan zikir kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 200: Fa idza qadhaitum manasikakum fa dzkuru l-Laha ka dzikrikum aba’akum aw asyadda dzikra (“Maka ketika kamu telah menunaikan manasikmu, berzikirlah kepada Allah seperti menzikiri bapak-bapakmu, bahkan harus lebih hebat zikirnya”).

Rasulullah s.a.w. juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi jemaah haji untuk memilih dua hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 203: Fa man ta`ajjala fi yaumaini fa la itsma `alayhi wa man ta’akhkhara fa la itsma `alayhi, li mani ttaqa (“Barangsiapa yang bergegas dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan barangsiapa yang belakangan juga tiada dosa baginya, yang penting mereka taqwa”).

Jadi pada tanggal 12 Dzulhijjah sore hari jemaah haji boleh melakukan nafar awwal (‘pulang duluan’) meninggalkan Mina pulang ke Makkah. Mereka yang ingin nafar awwal harus sudah berada di luar Mina sebelum maghrib. Jika saat maghrib masih di Mina, mereka harus mengambil nafar tsani (‘pulang rombongan kedua’), yaitu harus bermalam lagi di Mina dan melontar lagi tiga jumrah tanggal 13 Dzulhijjah, baru pulang ke Makkah. Sebagian shahabat memilih nafar awwal dan sebagian lagi memilih nafar tsani. Adapun Rasulullah s.a.w. melakukan nafar tsani, pulang ke Makkah tanggal 13 Dzulhijjah.

Pada malam 14 Dzulhijjah, Rasulullah s.a.w. menyuruh istri beliau, Aisyah, yang selesai masa haidnya untuk menunaikan umrah. “Inilah pengganti umrahmu yang gagal,” sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan`im dengan ditemani adiknya, Abdurrahman ibn Abi Bakar, lalu mereka berdua melakukan thawaf dan sa`i sehingga bertahallul di Marwah. Pengalaman Aisyah yang melakukan Haji Ifrad (haji dulu, baru umrah) dijadikan dasar oleh sebagian ulama di kemudian hari untuk membolehkan Haji Ifrad bagi yang bukan penduduk Makkah dan tidak membawa hadyu. Juga pengalaman Abdurrahman ibn Abi Bakar yang berumrah lagi dijadikan dasar untuk membolehkan umrah sunnat di musim haji dengan berihram dari Tan`im. Tetapi sebagian lagi ulama berpendapat bahwa jemaah yang tidak membawa hadyu harus melakukan Haji Tamattu` sesuai perintah Rasul (Aisyah melakukan Ifrad lantaran haid) serta umrah sunnat di musim haji tidak dicontohkan Rasul dan para shahabat (umrahnya Abdurrahman lantaran menemani kakaknya). Wallahu a`lam.

Sesudah shalat shubuh hari Rabu 14 Dzulhijjah (11 Maret), Rasulullah s.a.w. dengan istri-istri beliau, kecuali Safiyah yang mengalami haid dua hari sebelumnya, melakukan thawaf wada’ (thawaf perpisahan), lalu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah s.a.w. tidak dapat berada lama-lama di Makkah, sebab pekerjaan beliau selaku Kepala Negara harus segera beliau rampungkan. Tiga bulan sesudah itu, pada hari Senin tanggal 12 Rabi`u l-Awwal 11 Hijri (8 Juni 632), Rasulullah s.a.w. mangkat berpulang ke Rahmatullah. Sesungguhnya kita milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita akan kembali.

Demikianlah kisah ibadah haji Nabi Muhammad s.a.w. Marilah kita bersegera menunaikan ibadah haji yang merupakan salah satu Rukun Islam. Di samping untuk melaksanakan perintah Allah, ibadah haji sangat banyak manfaatnya bagi kita, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Hajj 28: liyasyhadu manafi`a lahum (“agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka”). Rasa nikmat menunaikan ibadah haji sungguh luar biasa dan tidak dapat diuraikan dengan kata-kata, melainkan hanya dapat dirasakan sendiri oleh masing-masing pribadi.

Marilah menunaikan ibadah haji.***

Penulis adalah salah seorang pembina Masjid Salman ITB, Bandung, yang cukup banyak membimbing haji dan umrah. Kumpulan tulisannya tentang haji telah diterbitkan dalam buku Bacaan Jemaah Haji, Penerbit Kiblat Buku Utama, Bandung, 2007.

Kamis, 17 Juni 2010

Nikmat Bersama Allah SWT

Wahai Allah Dzat Yang Mahamengetahui segala ilmu, Yang Mahamenciptakan Dienul haq, sesungguhnya hanya Engkaulah yang Mahamengetahui Islam yang sebenar-benarnya. Karena itu, tuntunlah kemampuan hamba-Mu ini untuk mengutarakan kebenaran-Mu.

Jadikan siapa pun yang ikut menyimak kebenaran-Mu ini, Kau bersihkan hatinya dengan sebersih-bersihnya, sehingga tidak ada satu niat pun, kecuali ingin mencari kebenaran-Mu untuk bekal bisa bertemu dengan-Mu.

Tidak ada kenikmatan yang lebih besar di dunia ini daripada nikmat mengenal Allah. Bahkan bagi orang yang sudah mengenal-Nya, nikmat dunia dan seisinya ini tidak akan mampu menandinginya. Alam semesta ini hanya sebagian kecil saja dari nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.

Seseorang tidak akan bisa mengukur nikmat Allah dengan dunia yang ada di tangannya. Bahkan, alam semesta berikut isinya pun tidak akan mampu mendatangkan kenikmatan Allah yang tiada tandingannya. Bagi orang yang mengenal Allah, segala sesuatu kejadian yang menimpa dirinya hanyalah nikmat yang diberikan oleh-Nya semata.

Kurang uang adalah nikmat karena ia akan selalu berikhtiar di jalan Allah, sehingga menambah pahala ikhtiar dan kesabaran jika dirinya tawakkal kepada-Nya. Banyak uang pun merupakan nikmat, karena bisa lebih banyak mempunyai kesempatan untuk beramal di jalan Allah.

Badan sehat adalah nikmat, karena ia lebih mampu untuk melakukan ibadah, beramal, dan berjihad di jalan Allah. Sakit pun merupakan nikmat, karena akan melebur segala dosa jika dirinya tabah dan sabar menerimanya dengan tidak meninggalkan ikhtiar zhahir; mencari obat penyembuh.

Dipuji adalah nikmat, karena bisa mendengarkan kebesaran Allah dan merasakan bagaimana hebatnya Allah menutupi aibnya. Dihina pun merupakan nikmat karena bisa melihat kejelekan-kejelekan diri sendiri di samping bisa menjadi ladang pahala sabar bagi dirinya sendiri.

Bagi orang yang mengenal Allah, semua kejadian adalah nikmat semata. Subahanallah! Mudah-mudahan kita semua digolongkan oleh-Nya menjadi ahli ma'rifat seperti itu. Namun sayang, ternyata hanya sedikit sekali orang yang mengenal Allah. Kebanyakan hanya tahu nama saja, tidak bisa merasakan kelezatan nikmat bersama-Nya.

Padahal, barangsiapa sudah merasa bersama-Nya, tidak mungkin merasa kesepian karena Allah 'Azza wa Jallaa senantiasa bersama hamba-Nya, bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri.
Bagi orang yang sudah mengenal Allah, tidak mungkin lupa barang sedetik pun kepada-Nya!

Bagaimana akan lupa, kalau setiap mata memandang segala sesuatu, yang terbayang dalam benaknya adalah hasil pekerjaan-Nya. Kalau setiap telinga mendengarkan sesuatu, niscaya segala yang berbunyi itu buah tangan-Nya. Kalau setiap mulut memakan dan meminum sesuatu, mutlak segala makanan dan air itu ciptaan-Nya. Tidak bisa tidak.

Tidak akan merasa kesepian di kala sepi dan terlena di kala ramai bagi orang yang sudah ma'rifat kepada-Nya. Karena, Allah-lah Dzat yang selalu memelihara dan mengawasi setiap makhluk-Nya dengan tanpa mengenal lupa. Di tengah orang banyak, di tengah pertempuran, di mana saja, mesti ingat kepada-Nya!

Allah pun pasti akan mencabut rasa takut dari hati orang yang telah ma'rifat kepada-Nya. Bagaimana akan takut, sedang segala yang ditakuti juga diurus oleh-Nya dan pasti akan musnah. Tiada daya dan kekuatan, kecuali atas ijin dan inayah-Nya. Laa khaulaa wa laa quwwata illaa billaah!

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang, kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu." [QS. At Taghabun (64): 11]

Lantas, adakah ahli ma'rifat takut miskin? Pasti tidak! Karena, Allah adalah Dzat Yangmahakaya. Bukankah jagad raya dan alam semesta ini semuanya milik Allah? Bagaimana mungkin takut miskin kalau sudah kenal dengan Dzat Yang Menguasai segalanya? Makhluk, sedikit pun tidak memiliki kekuasaaan untuk mempunyai apa-apa, bahkan tubuhnya sendiri pun mutlak milik-Nya.

Takut miskin itu karena kita belum kenal akan kehebatan dan kekayaan Allah, ragu terhadap pembagian kekayaan dari-Nya. Allah-lah Yang Mahaberkehendak dan Mahabijaksana. Tiada sedikit pun tandingan bagi-Nya. Allahu Akbar...!

Sungguh, dunia ini tiada artinya. Karena yang hebat dan indah itu hanyalah Allah semata. Oleh sebab itu, tatkala mata terpesona kepada dunia, sebenarnya bukanlah kepada dunianya, melainkan kepada kehebatan perbuatan-Nya Dengan demikian, tidak ada sedikit pun kekurangan dan kejelekan di dunia ini jika dikaitkan kepada Allah.

Kendati mata melihat binatang yang menjijikkan penuh kuman penyakit sekalipun, pandangannya akan tetap penuh syukur kepada-Nya. Mahasuci Engkau ya Allah, segala puji bagi-Mu yang telah mentakdirkan kami sebagai makhluk ciptaan-Mu yang sempurna.

Itulah golongan orang yang sudah merasakan kelezatan dunia. Ternyata kebahagiaan di dunia ini tidak semata dilihat dari bentuk duniawinya. Karena, kalau cuma itu yang dijadikan sebatas tanda kebahagiaan, berarti lebih banyak orang kafir yang hidupnya bahagia, karena mereka lebih banyak dilimpahi kekayaan dunia.

Alhamdulillah, ternyata yang namanya bahagia adalah jika kita senantiasa bisa bersama Allah dalam segala keadaan. Imam Al Ghazali menulis dalam bukunya bahwa akan sedikit di antara umat Muhammad yang masuk kedalam golongan 'Aarifiin (golongan yang mengenal Allah).

Sebagian besar orang sebelum hatinya ingat kepada-Nya, telah terlebih dahulu ditutupi dengan selalu ingat kepada dunia dan segala isinya. Dunia yang hanya sebagian kecil dari alam semesta saja sudah dapat menutupi hatinya, bagaimana mungkin bisa memasuki tingkat ma'rifat kepada Allah yang menguasai segala jagad raya alam semesta ini.

Sebagian besar dari kita lebih suka kepada dunia daripada mengharapkan bertemu dengan-Nya. Kita lebih suka dipandang mulia oleh sesama manusia daripada mencari kemuliaan yang telah dijanjikan-Nya kepada orang-orang yang bertaqwa. Padahal Allah-lah Dzat yang memiliki dan menguasai kebesaran dan kemuliaan. "Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan." (QS. Ar Rahman [55]: 27)***

Oleh: Aa Gym

Terampil Memainkan Hidup

Hidup adalah keterampilan. Ia akan memiliki makna apabila kita terampil untuk memainkannya. Seseorang akan bisa menikmati perjalanan, apabila ia terampil mengendarai kendarannya. Begitu pula, seseorang akan berbicara dengan baik apabila ia terampil memilih kata dan nada bicara yang tepat. Untuk terampil kita membutuhkan dua hal, yaitu ilmu dan latihan.

Siapa saja yang tidak mencintai dua hal ini, maka ia celaka dan mencelakakan orang lain.
Masalah terbesar yang kita alami sekarang adalah tidak menguasai keterampilan untuk hidup. Terkadang, untuk menentukan tujuan hidup pun kita masih kesulitan. Ketika punya tujuan, sering kali tujuan itu salah, ingin kaya, ingin terkenal, ingin memiliki jabatan tinggi, dan lainnya.

Semua itu hanyalah tujuan yang sangat rendah nilainya. Karenanya, banyak di antara kita menghalalkan segala cara untuk meraihnya, walaupun harus melanggar nilai-nilai moral dan spiritual. Ia menggadaikan harga dirinya, karena cita-cita yang diinginkan rendah nilainya.

Jangankan untuk membangun bangsa, keterampilan membangun cita-cita pun sangat sulit kita lakukan: apa yang hendak kita kerjakan hari ini dan esok lusa? Apa yang ingin kita capai satu atau dua tahun ke depan? Ingin jadi apa kita sepuluh tahun ke depan? Semua itu merupakan pertanyaan yang sama sekali tidak bisa kita jawab. Nyaris, kita berbuat tanpa tujuan yang pasti.

Padahal, keluarnya kita dari rumah akan memakan waktu. Sedangkan waktu adalah kekayaan terbesar yang dimiliki manusia. Lalu apa yang harus kita lakukan agar hidup kita lebih terarah dan bermakna? Hal pertama, rumuskan tujuan dan cita-cita hidup. Kita tidak mungkin sukses dalam hidup apabila tidak punya arah yang hendak dituju.

Orang yang tahu bahwa kereta akan beragkat jam delapan, pasti akan bersungguh-sungguh mempersiapkan diri agar tidak ketinggalan kereta. Hanya orang memiliki tujuan jelaslah yang akan memanfaatkan waktunya untuk kemajuan, sehingga setiap detiknya akan terasa efektif dan membawa kebaikan. Keterampilan menentukan tujuan adalah langkah awal bagi orang-orang yang akan sukses dalam hidupnya.

Mulai sekarang, buat rencana ke depan. Ingin apa saya dalam hidup? Ingin kaya, ingin berpenghasilan tinggi supaya bisa menyantuni orang lain, supaya bisa menolong orang yang membutuhkan? Buat target, berapa uang yang harus kita keluarkan dalam sebulan untuk bershadaqah. Kita sering tidak menyesal ketika tidak bershadaqah, tidak tahajud, tidak belajar, dan lainnya, karena kita tidak punya target untuk mencapainya.

Kedua, keterampilan menyusun rencana. Nyaris, kita tidak memiliki rencana dalam hidup. Segala sesuatu ingin kita lakukan. Nonton televisi, baca koran, ngobrol, bepergian, dan lainnya sering tidak memakai perencanaan. Bayangkan, waktu yang sangat berharga lolos begitu saja, karena kita tidak punya target dan perencanaan.

Maka benar pepatah yang mengatakan, gagal merencanakan, sama dengan merencanakan kegagalan. Kita sering tidak punya perencanaan harian, mingguan, atau bulanan, apalagi tahunan.
Oleh karena itu, kita jangan bersembunyi di balik kata tawakal. Tawakal itu masalah hati. Akal dan fisik kita punya urusan lain.

Tawakal akan bermakna apabila kita berusaha semaksimal mungkin untuk memeras pikiran dan mendayagunakan fisik. Jangankan untuk mengarungi hidup yang demikian kompleks, untuk memasak telur dadar saja, kita membutuhkan proses dan tahapan yang harus benar urutannya. Bagaimana anak kita akan mampu berbuat banyak dalam hidupnya, bila kita orang tuanya tidak membantu mereka untuk menemukan jalan yang tepat dalam hidup.

Setiap aktivitas hidup harus didasarkan pada perencanaan yang baik agar hasil yang didapat bisa baik pula. Sebagai contoh dalam hal keuangan, belilah barang yang benar-benar kita butuhkan dan akan membawa kebaikan dunia dan akhirat. Berusaha semaksimal mungkin dalam merencanakan dan bekerja, perkara hasil itu ada dalam genggaman Allah. Faidza azamta fatawakal alallah.

Ketiga, terampil untuk konsisten dan istiqamah. Kita menjadi lemah, salah satu sebabnya karena kita mudah sekali terpengaruh dan tidak memiliki keteguhan memegang prinsip. Semua ini berawal dari tidak adanya program yang jelas dalam hidup. Hidup ini akan enak untuk dijalani apabila kita memiliki konsistensi.

Satu hal yang meyebabkan orang tidak konsisten adalah mudah tersinggung dan mudah sakit hati. Semua ini akan memakan energi dan waktu. Setiap ucapan, hinaan, dan cacian, harusnya bisa membuat kita lebih dewasa dan lebih bersemangat untuk secara konsisten membuat bukti, hingga mereka menyaksikan bahwa yang dituduhkannya tidak benar.

Tidak ada yang bisa memungkiri adanya bukti. Kita harus hemat dari sakit hati, dari dongkol, dari ketersinggungan, dan bekerja keraslah untuk memberikan bukti. Apapun yang dituduhkan orang lain kepada kita, seharusnya membuat energi kita semakin bertambah agar bisa menghasilakan karya yang monumental.

Tampaknya kita harus mulai terampil untuk memperjelas tujuan dalam hidup dan memperjelas seperti apakah ridha Allah tersebut. Ridha Allah itu harus kita jabarkan dalam pekerjaan yang konkret. Ridha Allah itu ada dalam menolong orang tua, membangun umat, menyebarkan ilmu yang berguna, sehingga hilang kebodohan di kalangan umat.

Terus buat teknik-teknik terbaik, bagaimana menolong tetangga yang efektif, bagaimana cara terbaik untuk memajukan umat, dan lainnya. Banyak orang yang tidak berprestasi karena terpengaruh celetukan dan ocehan orang-orang yang tidak suka. Ini sangat tidak profesional, karena orang besar hanya akan memikirkan hal besar dan tidak akan terpengaruh oleh hal-hal remeh seperti itu.

Banyak hal yang harus kita lakukan dalam hidup ini. Karenanya, kita harus semaksimal mungkin untuk dapat mengendalikan hidup ini. Terampil bercita-cita, terampil menyusun rencana, terampil untuk tetap konsisten dan tidak terpengaruh oleh hal-hal kecil adalah kunci kesuksesan kita dalam memanfaatkan waktu yang tersedia. Kita harus menjadi orang yang mampu berpikir besar, dan berkarya besar. Wallahu a'lam.

Oleh: Aa Gym

Rumah Cermin Kepemimpinan

Saudaraku, kita semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang kita pimpin. Mengingat itu, ada pelajaran sangat penting yang diajarkan Rasulullah SAW tentang kepemimpinan. Yakni, sayidul qoum (pimpinan suatu kaum) adalah qodimuhu (pelayan yang berkhidmat untuk kaumnya).
Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain, belum tentu menjadi tanda bahwa pemimpin tersebut mulia karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya. Demikian Sabda Nabi.

Seorang pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak harta dan segenap kemampuannya.

Dia bekerja lebih keras dan berpikir lebih kuat, lebih lama, dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.

Rasulullah memiliki beberapa tujuan yang hendak dicapai dari misi kepemimpinanya Yaitu, pertama, memimpin peradaban manusia agar terbebas dari kehinaan dan diperbudak dunia. Kedua, Rasulullah berusaha agar manusia yang dipimpinnya bisa berkarya sebagai khalifah yang mampu membangun peradaban yang baik, adil, menyejahterakan diri dan orang lain. Ketiga, Rasullulah berusaha memacu manusia untuk terus memperbaiki kualitas dirinya agar menjadi suri tauladan dan jalan dakwah dalam menegakkan kebenaran.

Hal yang sangat menakjubkan adalah bertahannya pengaruh kepemimpinan Rasulullah hingga saat ini. Kita bisa melihat bahwa tidak ada satu pun kegiatan ritual di dunia ini seperti shalat dalam Islam. Ia wajib dilakukan sebanyak lima kali sehari. Semuanya diawali dengan bersuci (berwudhu). Kemudian membuat barisan dengan tertib, dan seluruh dunia menggunakan bahasa yang sama serta arah yang terpusat, sehingga tidak pernah ada satu sisi dunia pun yang tidak bersujud. Semuanya bergiliran dan berlangsung terus-menerus, tanpa henti.

Tidak hanya itu, hal-hal ringan pun berusaha dicontohkan oleh beliau. Mulai dari cuci tangan sampai buang air, semua ada adabnya. Termasuk cara melangkah, semuanya menggunakan etika. Jiwa kepemimpinan dari Rasulullah inilah yang sepatutnya terus menerus kita kaji karena banyak warisan besar beliau yang kurang diperhatikan, khususnya dalam masalah entrepreunership dan leadership beliau.

Padahal, inilah yang menjadi lokomotif penggerak umat. Bila seorang pemimpin kurang baik maka bawahannya cendrung untuk tidak baik pula, karena pada prinsipnya yang dipimpin itu menduplikasi pemimpinnya. Tetapi jika pemimpinnya mulia dan berjiwa seperti Rasul, maka dampak psikologis bagi orang yang dipimpinnya pun akan luar biasa.

Konon, negeri ini memiliki penduduk 220 juta jiwa. Tetapi, tampaknya kita seperti kesulitan dalam mencari sosok pemimpin yang benar-benar bisa diterima oleh banyak kalangan, walaupun memang tidak akan pernah ada pemimpin ideal yang bisa diterima oleh semua. Nabi Muhammad SAW saja yang begitu sempurna, tetap ada yang tidak menerima beliau: ada yang mencaci, memaki bahkan memerangi. Padahal akhlak dan tujuan beliau begitu sempurna dan mulia.

Dalam kehidupan manusia selalu ada pihak yang pro maupun kontra. Tetapi, setidaknya kita bisa merenung, "Mengapa kita sulit mencari pemimpin di lingkungan manapun?" Dari lingkungan Rt, Rw, kecamatan, kabupaten/kota, perusahaan, begitu juga dengan gubernur atau pemimpin di departemen, kita tampaknya menemui kesulitan untuk itu.

Semua ini terjadi karena kita belum mentradisikan latihan kepemimpinan yang dimulai dari rumah, sehingga rumah tangga kita tidak menghasilkan kader-kader pemimpin yang bermutu tinggi. Seorang pemimpin itu tidak selalu identik dengan punya kemampuan memimpin, karena ada yang memiliki jabatan pemimpin sebab diangkat, atau ada juga yang diberikan kepercayaan karena kemampuannya.

Kita membutuhkan sebuah pergerakan baru dalam tatanan bermasyarakat, yang diawali dari rumah tangga agar bagaimana caranya membangkitkan kemampuan memimpin. Seorang ayah harus mampu memimpin keluarganya dengan baik.

Seorang ibu dan anak-anak pun dilatih untuk memiliki pola kepemimpinan yang baik, sehingga negara kita memiliki aset sumber daya manusia yang unggul.
Qullukum ro' in, semua kamu adalah pemimpin. Islam mengajarkan bahwa setiap orang harus memiliki jiwa kepemimpinan. Minimal ada empat hal yang harus dilatih di rumah, yaitu:

1. Memiliki kejelasan visi. Mau dibawa ke mana rumah tangga ini? Suami istri harus mempunyai visi, begitu juga anak-anak harus dilatih tentang visi kehidupannya. Setiap anggota keluarga harus terlatih memiliki kemampuan berstrategi membuat perencanaan.

2. Bagaimana menggali potensi, karena anak tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Padahal anak-anak didesain oleh Allah berbeda satu sama lain dan belum tentu sama dengan orang tuanya. Kalau tidak hati-hati, potensi anak yang ada bisa hilang akibat keinginan kita yang keliru.

3. Kemampuan memotivasi satu sama lain. Misalnya, ayah mampu memotivasi keluarganya. Begitu juga ibu, sehingga anak-anak bisa menjadi manusia bijak. Kemampuan memotivasi itu merupakan ciri pemimpin yang baik. Dia mengajari tanpa menggurui. Dia mengajak tanpa memaksa, dan ini keterampilan penting dalam ilmu kepemimpinan.

4. Kalau kita diberi amanah oleh Allah menjadi seorang pemimpin, maka amanah tersebut harus disempurnakan dari awal sampai akhir sebagai bentuk pertanggungjawaban. Kita harus mencontoh Rasulullah SAW. Misalnya ketika ada tamu, Rasulullah SAW memberikan pelayanan terbaik, bermanis muka, memuliakannya, dan mengantar sang tamu sampai pintu ketika ia pulang.

Semua itu memberi gambaran kepada kita tentang kesempurnaan akhlak beliau. Dan, itulah pelajaran yang sangat penting dari ilmu kepemimpinan Rasulullah SAW Wallahu a'lam.

Oleh: Aa Gym

Agar Mendapatkan Pertolongan Allah SWT

Ketika harga diri telah dijadikan salah satu kata kunci utama hidup seorang Muslim di tengah-tengah pergaulan manusia yang lalai dan diperkuda hawa nafsu, semoga saja Allah menakdirkan kita menjadi bukti kemuliaan Islam. Siapa pun yang dianugerahi karunia ini, niscaya tidak akan merasakan kecemasan menghadapi kehidupan dunia. Betapa tidak! pertolongan-Nya yang sangat mengesankan akan senantiasa tercurah kepada kita, diminta ataupun tidak.

Misalnya saat kita ingin membangun masjid atau lembaga dakwah. Sekiranya kita tidak yakin bahwa Allah SWT akan menolong kita yang ingin mendirikan rumah-Nya dan menolong menegakkan agama-Nya, niscaya akan dengan mudah. Bahkan mungkin penuh kesadaran menukar harga diri dengan kepingan-kepingan uang logam, yang mungkin nilainya lebih kecil daripada yang diberikan kepada pengemis atau penjaga WC umum.

Kita akan rela mencampakkan rasa malu kita dan rela tubuh ini terpanggang terik sinar matahari untuk berjalan berkilo-kilo meter dari pintu ke pintu, berdiri di pinggir jalan raya sambil mengacung-acungkan kotak kencleng, atau mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil di perempatan jalan. Padahal, bukankah tangan di atas itu jauh lebih baik dari pada tangan yang menengadah di bawah?

Sesungguhnya, keadaan semacam itu sangat dimaklumi. Umat Islam saat ini baru terjaga dari tidur lelapnya. Saat terjaga, ternyata orang lain sudah banyak berbuat, melangkah begitu jauh dan sudah berbekal sejumlah potensi untuk bersaing. Akibatnya, bisa kita lihat ke dalam diri kita sendiri, kita masih memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal potensi sumber daya manusia, dana, kesempatan, maupun strategi untuk bersaing.

Mengingat hal itu, apakah lantas kita hanya akan mengandalkan kemampuan diri yang notabene pas-pasan, apa yang bisa kita dapat? Kalaupun kita memilih berjuang sekuat-kuatnya untuk menjaga kemuliaan diri, tak ingin meminta-minta sumbangan. Sementara jalan wirausaha pun belum membuahkan hasil yang berarti, lalu siapa yang harus kita andalkan?

Hendaknya kita mulai mencita-citakan menjadi orang yang selalu rindu pertolongan Allah. Biarlah Dia yang mengatur segalanya bagi kita. Biarlah kita menjadi bagian dari rencana dan strategi-Nya. Karena dengan begitu, kita akan menjadi orang yang bisa meraih sukses dalam bidang apapun yang dapat mendatangkan kemaslahatan, sekaligus derajat kemuliaan kita, pun tetap terpelihara dan bahkan terentaskan.

Mau berdakwah, melanjutkan sekolah, menempuh ujian, mencari pekerjaan, berwirausaha, atau melakukan apapun, kalau hanya mengandalkan otak dan kemampuan belaka, sungguh amat terbatas. Kita tidak bisa melacak apa yang akan terjadi besok atau lusa. Kita tidak tahu persaingan seberat apa yang akan dihadapi. Kita tidak tahu penipu mana yang akan mengganjal dan menghadang kita.

Akan tetapi, kalau Allah berkehendak menolong kita, maka Dia Mahatahu segala-gala. Sekali-kali tidak akan terhalang karunia dan pertolongan-Nya walaupun bergabung seluruh jin dan manusia untuk menghalanginya.

Jadi, kalau ada yang harus kita lakukan sekarang adalah mencari pertolongan Allah, dengan cara berjuang sekuat-kuatnya agar kita menjadi orang yang layak ditolong oleh-Nya. Akan tetapi, bukankah untuk sampai ke arah itu amat berat? Nah, di sinilah justru letak kesalahannya: menganggap berat perjuangan yang justru belum kita mulai. Padahal, Allah sama sekali tidak mempersulit kita. Kita saja yang suka menghalangi datangnya pertolongan Allah itu.

Karenanya, agar kita menjadi orang yang tidak menghalangi pertolongan-Nya, rahasianya adalah memulai dengan membersihkan dan meluruskan niat. Untuk apa kita melakukan suatu usaha? Untuk kepentingan sendiri, bolehkah? Untuk ma'isyah rumah tangga, bolehkah? Kedua-duanya boleh saja.

Hanya saja, kalau demi motivasi semacam itu, siapa pun dapat melakukannya, bahkan termasuk orang yang tidak beriman sekalipun. Padahal, kita harus mendapatkan nilai lebih dari sekadar untuk mencukupi diri atau keluarga. Ketika ingin berwirausaha, niatkanlah karena ingin memiliki harga diri, agar tidak menjadi beban orang lain. Yang kedua, mudah-mudahan usaha kita menjadi dakwah. Yang ketiga, mudah-mudahan banyak teman kita yang bergabung, sehingga mereka mendapatkan rezeki yang jelas kehalalannya.

Dan yang keempat, mudah-mudahan jerih payah kita membuahkan rezeki yang berlimpah ruah, sehingga bisa menolong orang yang memang membutuhkan pertolongan. Hendaknya, seperti inilah niat kita. Tidak lagi hanya untuk kepentingan diri dan keluarga, tetapi menjadi melebar untuk kepentingan umat. Inilah awal yang baik.

Kalau niat dan motivasi kita hanya sekadar untuk memperkaya diri, jangan-jangan malah kita tidak pernah menjadi kaya. Lain lagi kalau diniatkan untuk memperkaya umat dan menolong agama Allah, maka Allah lah yang akan menjamin kekayaan kita. Bukankah Dia telah tegas-tegas berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (QS. Muhammad [47]:7).

Lalu, siasat seperti apa yang dapat kita lakukan agar menjadi bagian dari orang yang layak ditolong oleh-Nya? Langkah awal yang harus kita lakukan adalah berusaha terus menerus untuk meningkatkan pengenalan kita kepada Allah dalam segala aspek kehidupan. Ujung dari semua itu adalah terbangunnya ketakwaan dan ketawakkalan. Tidak takut kecuali hanya pada-Nya, karena Dialah satu-satunya tempat bergantung segala makhluk.

Manusia hanya diwajibkan berikhtiar, sedang tercapai atau tidaknya ikhtiar tersebut, semuanya bergantung pada izin Allah. Sekiranya kita sudah memiliki kesanggupan seperti itu, maka apa lagi yang harus dicemaskan di dunia ini? Jaminan dan janji Allah itu pasti. Mustahil Dia mengingkarinya. "Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya baginya jalan keluar dan diberinya rezeki dari jalan yang tiada terduga. Barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu" (QS. Ath-Thalaq [65]:2-3).

Oleh: Aa Gym

Agar Mendapatkan Pertolongan Allah SWT

Ketika harga diri telah dijadikan salah satu kata kunci utama hidup seorang Muslim di tengah-tengah pergaulan manusia yang lalai dan diperkuda hawa nafsu, semoga saja Allah menakdirkan kita menjadi bukti kemuliaan Islam. Siapa pun yang dianugerahi karunia ini, niscaya tidak akan merasakan kecemasan menghadapi kehidupan dunia. Betapa tidak! pertolongan-Nya yang sangat mengesankan akan senantiasa tercurah kepada kita, diminta ataupun tidak.

Misalnya saat kita ingin membangun masjid atau lembaga dakwah. Sekiranya kita tidak yakin bahwa Allah SWT akan menolong kita yang ingin mendirikan rumah-Nya dan menolong menegakkan agama-Nya, niscaya akan dengan mudah. Bahkan mungkin penuh kesadaran menukar harga diri dengan kepingan-kepingan uang logam, yang mungkin nilainya lebih kecil daripada yang diberikan kepada pengemis atau penjaga WC umum.

Kita akan rela mencampakkan rasa malu kita dan rela tubuh ini terpanggang terik sinar matahari untuk berjalan berkilo-kilo meter dari pintu ke pintu, berdiri di pinggir jalan raya sambil mengacung-acungkan kotak kencleng, atau mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil di perempatan jalan. Padahal, bukankah tangan di atas itu jauh lebih baik dari pada tangan yang menengadah di bawah?

Sesungguhnya, keadaan semacam itu sangat dimaklumi. Umat Islam saat ini baru terjaga dari tidur lelapnya. Saat terjaga, ternyata orang lain sudah banyak berbuat, melangkah begitu jauh dan sudah berbekal sejumlah potensi untuk bersaing. Akibatnya, bisa kita lihat ke dalam diri kita sendiri, kita masih memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal potensi sumber daya manusia, dana, kesempatan, maupun strategi untuk bersaing.

Mengingat hal itu, apakah lantas kita hanya akan mengandalkan kemampuan diri yang notabene pas-pasan, apa yang bisa kita dapat? Kalaupun kita memilih berjuang sekuat-kuatnya untuk menjaga kemuliaan diri, tak ingin meminta-minta sumbangan. Sementara jalan wirausaha pun belum membuahkan hasil yang berarti, lalu siapa yang harus kita andalkan?

Hendaknya kita mulai mencita-citakan menjadi orang yang selalu rindu pertolongan Allah. Biarlah Dia yang mengatur segalanya bagi kita. Biarlah kita menjadi bagian dari rencana dan strategi-Nya. Karena dengan begitu, kita akan menjadi orang yang bisa meraih sukses dalam bidang apapun yang dapat mendatangkan kemaslahatan, sekaligus derajat kemuliaan kita, pun tetap terpelihara dan bahkan terentaskan.

Mau berdakwah, melanjutkan sekolah, menempuh ujian, mencari pekerjaan, berwirausaha, atau melakukan apapun, kalau hanya mengandalkan otak dan kemampuan belaka, sungguh amat terbatas. Kita tidak bisa melacak apa yang akan terjadi besok atau lusa. Kita tidak tahu persaingan seberat apa yang akan dihadapi. Kita tidak tahu penipu mana yang akan mengganjal dan menghadang kita.

Akan tetapi, kalau Allah berkehendak menolong kita, maka Dia Mahatahu segala-gala. Sekali-kali tidak akan terhalang karunia dan pertolongan-Nya walaupun bergabung seluruh jin dan manusia untuk menghalanginya.

Jadi, kalau ada yang harus kita lakukan sekarang adalah mencari pertolongan Allah, dengan cara berjuang sekuat-kuatnya agar kita menjadi orang yang layak ditolong oleh-Nya. Akan tetapi, bukankah untuk sampai ke arah itu amat berat? Nah, di sinilah justru letak kesalahannya: menganggap berat perjuangan yang justru belum kita mulai. Padahal, Allah sama sekali tidak mempersulit kita. Kita saja yang suka menghalangi datangnya pertolongan Allah itu.

Karenanya, agar kita menjadi orang yang tidak menghalangi pertolongan-Nya, rahasianya adalah memulai dengan membersihkan dan meluruskan niat. Untuk apa kita melakukan suatu usaha? Untuk kepentingan sendiri, bolehkah? Untuk ma'isyah rumah tangga, bolehkah? Kedua-duanya boleh saja.

Hanya saja, kalau demi motivasi semacam itu, siapa pun dapat melakukannya, bahkan termasuk orang yang tidak beriman sekalipun. Padahal, kita harus mendapatkan nilai lebih dari sekadar untuk mencukupi diri atau keluarga. Ketika ingin berwirausaha, niatkanlah karena ingin memiliki harga diri, agar tidak menjadi beban orang lain. Yang kedua, mudah-mudahan usaha kita menjadi dakwah. Yang ketiga, mudah-mudahan banyak teman kita yang bergabung, sehingga mereka mendapatkan rezeki yang jelas kehalalannya.

Dan yang keempat, mudah-mudahan jerih payah kita membuahkan rezeki yang berlimpah ruah, sehingga bisa menolong orang yang memang membutuhkan pertolongan. Hendaknya, seperti inilah niat kita. Tidak lagi hanya untuk kepentingan diri dan keluarga, tetapi menjadi melebar untuk kepentingan umat. Inilah awal yang baik.

Kalau niat dan motivasi kita hanya sekadar untuk memperkaya diri, jangan-jangan malah kita tidak pernah menjadi kaya. Lain lagi kalau diniatkan untuk memperkaya umat dan menolong agama Allah, maka Allah lah yang akan menjamin kekayaan kita. Bukankah Dia telah tegas-tegas berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu" (QS. Muhammad [47]:7).

Lalu, siasat seperti apa yang dapat kita lakukan agar menjadi bagian dari orang yang layak ditolong oleh-Nya? Langkah awal yang harus kita lakukan adalah berusaha terus menerus untuk meningkatkan pengenalan kita kepada Allah dalam segala aspek kehidupan. Ujung dari semua itu adalah terbangunnya ketakwaan dan ketawakkalan. Tidak takut kecuali hanya pada-Nya, karena Dialah satu-satunya tempat bergantung segala makhluk.

Manusia hanya diwajibkan berikhtiar, sedang tercapai atau tidaknya ikhtiar tersebut, semuanya bergantung pada izin Allah. Sekiranya kita sudah memiliki kesanggupan seperti itu, maka apa lagi yang harus dicemaskan di dunia ini? Jaminan dan janji Allah itu pasti. Mustahil Dia mengingkarinya. "Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya baginya jalan keluar dan diberinya rezeki dari jalan yang tiada terduga. Barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu" (QS. Ath-Thalaq [65]:2-3).

Oleh: Aa Gym

Menghidupkan Hati Nurani

Manusia memiliki kesempatan untuk ma'rifatullah (kesanggupan mengenal Allah). Kesanggupan ini Allah karuniakan kepada manusia karena mereka memiliki akal dan hati nurani. Inilah karunia Allah yang sangat besar bagi manusia. Orang-orang yang hatinya hidup akan bisa mengenal dirinya, dan pada akhirnya akan berhasil pula mengenal Tuhannya. Tidak ada kekayaan termahal dalam hidup ini kecuali keberhasilan mengenal diri dan Tuhannya.

Siapapun yang tidak bersungguh-sungguh menghidupkan hati nuraninya, dia akan jahil, baik dalam mengenal diri, terlebih lagi dalam mengenal Tuhannya.
Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah mampu mengenal dirinya dengan baik, tidak akan pernah tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini, apalagi merasakan indahnya hidup. Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa yang dikenalnya hanyalah dunia belaka.

Akibatnya, semua kalkulasi perbuatan yang ia lakukan, tidak bisa tidak, hanya akan diukur oleh aksesoris dunia belaka. Dia menghargai orang semata-mata karena orang tersebut berpangkat, kaya raya, dan terkenal. Demikian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang itu, karena ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain.

Ada pun dalam hal mencari harta, gelar, pangkat, dan jabatan, dia tidak akan memperdulikan dari mana datangnya dan ke mana perginya. Sebagian orang ternyata tidak mempunyai cukup waktu dan ketangguhan untuk bisa mengenal hati nuraninya sendiri. Akibatnya menjadi tidak sabar menghadapi kehidupan duniawi yang serba singkat ini. Karena itu, hendaknya kita menyadari bahwa hati inilah pusat segala kesejukan dan keindahan dalam hidup ini.

Lihatlah seorang ibu yang berjuang membesarkan anaknya, mulai dari saat mengandung yang melelahkan, kemudian saat melahirkan antara hidup dan mati, setelah melahirkan ia harus menjaga bayinya siang malam. Ketika tiba saatnya si buah hati berjalan, ibu pun dengan seksama membimbing dan menjaganya.

Proses itu berjalan terus hingga dewasa. Pendek kata, ketika kecil menjadi beban, sudah besar pun tak kurang pula menyusahkannya. Begitu panjangnya rentang waktu yang harus dijalani orang tua dalam menanggung beban. Mengapa orang tua bisa bertahan dan berkorban terus-menerus demi anaknya? Jawabnya karena mereka mempunyai hati nurani yang dari dalamnya terpancar kasih sayang yang tulus dan suci.

Walau tidak ada imbalan lansung dari sang anak, namun nurani yang penuh kasih sayang inilah yang membuatnya tahan terhadap segala kesulitan dan penderitaan. Bahkan, sesuatu yang menyengsarakan pun terasa tidak menjadi beban. Oleh karena itu, beruntunglah orang yang ditakdirkan memiliki kekayaan berupa harta kekayaan yang banyak. Akan tetapi, hal terpenting yang harus selalu kita jaga dan kita rawat adalah kekayaan batin kita berupa hati nurani ini.

Hati nurani yang penuh dengan cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah SWT. Sebaliknya, waspadalah bila cahaya nurani mulai redup. Hal itu akan membuat pemiliknya selalu merasakan kesengsaraan lahir batin karena senantiasa merasa terjauhkan dari rahmat dan pertolongan-Nya.

Tuhan kita menciptakan dunia beserta segala isinya dari unsur tanah, dan itu berarti senyawa dengan tubuh kita karena sama-sama terbuat dari tanah. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan tubuh kita tidaklah cukup dengan berzikir, tetapi harus dipenuhi dengan aneka perangkat dan makanan yang sumbernya dari tanah pula.

Bila perut terasa lapar, maka kita santap beraneka makanan yang sumbernya ternyata dari tanah. Bila tubuh kedinginan, kita pun mengenakan pakaian yang bila ditelusuri ternyata unsur-unsurnya bersumber dari tanah. Demikian pula bila suatu ketika kita sakit, maka carilah obat-obatan yang juga diolah dari komponen yang berasal dari tanah pula. Pendek kata, untuk segala macam keperluan tubuh, kita mencarikan jawabannya dari tanah.

Akan tetapi, qalbu ini ternyata tidak satu senyawa dengan unsur-unsur tanah, sehingga ia akan terpuaskan laparnya, dahaganya, sakitnya, serta kebersihannya semata-mata dengan mengingat Allah. "Alaa bi dzikrillahi tathma'innul quluub". Camkan selalu, hatimu hanya akan tenteram jika selalu ingat pada Allah. (QS. Ar-Ra'du: 28)

Kita memiliki banyak kebutuhan untuk fisik kita, tapi kita pun memiliki kebutuhan untuk qalbu kita. Oleh karena itu, marilah kita mengarungi dunia ini sambil memenuhi kebutuhan fisik dengan unsur dunia, tapi hati nurani dan unsur kejiwaan kita harus tetap tertambat kepada Dzat Pemilik dunia dan segala isinya.

Dengan kata lain, tubuh kita sibuk dengan urusan dunia, tapi hati kita harus sibuk dengan Allah. Inilah tugas kita sebenarnya. Sekali saja kita salah dalam mengelola hati - tubuh dan hati sama-sama sibuk dengan urusan duniawi - kita akan dibuat stres dan ketidaktenteraman yang berkepanjangan. Hari-hari akan selalu diliputi kecemasan.

Kita takut ada yang menghalangi, takut tidak kebagian, takut terjegal, dan sebagainya. Ini semua diakibatkan sibuknya seluruh jasmani dan ruhani kita dengan urusan duniawi semata. Hal ini sangat berpotensi meredupkan hati nurani kita. Bahkan, lebih jauh memungkinkan hati kita menjadi mati. Na'udzubillah. Kita perlu meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai mengalami musibah semacam ini.

Tapi, bagaimana caranya agar kita mampu senantiasa membuat hati nurani tetap hidup dan bercahaya?
Secara umum solusinya adalah seperti yang telah disebutkan di atas. Kita harus berjuang semaksimal mungkin agar hati ini jangan sampai terlalaikan dari mengingat Allah. Mulailah dengan mengenali apa yang ada pada diri kita.

Mudah-mudahan ikhtiar ini manjadi jalan bagi kita untuk dapat lebih mengenal Allah, Dzat yang telah menciptakan dan mengurus diri dan alam semesta ini. Dia adalah Dzat pembolak-balik hati, yang tidak akan sulit membalikan hati yang redup dan kusam menjadi hati yang terang dan hidup dengan cahaya-Nya. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: Aa Gym

Hikmah Shalat Khusyuk

Saat terindah bagi seorang pecinta adalah ketika ia bertemu, bercengkrama, dan berdialog dengan orang yang dicintainya. Ketika itu, segala beban hidup dan kenestapaan akan hilang seketika. Bagi para shalihin, bertemu Allah lewat shalat adalah saat yang paling dinantikan, karena pada waktu itulah ia bisa mencurahkan semua isi hati dan bermi'raj menuju Allah. Walau demikian, ia akan kembali lagi ke alam realitas untuk mengaplikasikan nilai-nilai yang didapat dari shalatnya. Inilah makna sesungguhnya dari khusyuk.

Khusyuk dalam shalat merupakan sebuah keniscayaan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Mukminun: 1-3, "Beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya dan yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna".

Di lain pihak Rasulullah bersabda: Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi ialah kekhusyuan. (HR. At-Tabrani ) Dua keterangan di atas setidaknya mengadung pesan bahwa shalat seharusnya mampu membawa perbaikan kualitas hidup kita. Dengan kata lain, bila kita ingin sukses dan ingin berhasil dalam hidup ini, maka kuncinya adalah punya iman dan mampu khusyuk dalam shalat. Siapa pun di antara kita yang tidak pernah meneliti kualitas shalatnya, besar kemungkinan ia tidak akan sukses dalam hidup.

Dalam surat yang lain, Allah bersabda, "Celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dalam shalatnya" (QS. Al Ma'un: 4-5). Redaksi ayat tersebut bukan fi tapi an, yang menggambarkan bahayanya lalai sesudah shalat. Khusyuk ketika shalat hanya memakan waktu sekitar satu jam, sedangkan sehari 24 jam.

Karenanya, tidak mungkin shalat itu hanya efektif untuk yang satu jam. Yakinlah bahwa shalat yang satu jam harus bagus dan sisanya yang 23 jam harus lebih bagus lagi. Maka orang yang shalatnya khusyuk adalah orang yang mampu berkomunikasi dengan baik ketika shalat, dan sesudah shalat ia betul-betul produktif berbuat kebaikan terhadap umat.

Lalu, apa hikmah shalat yang bisa kita dapatkan? Pertama, Allah mengingatkan kita lima kali sehari tentang waktu. Orang yang khusyuk dalam shalatnya dapat dilihat dari sikapnya yang efektif menggunakan waktu. Ia tidak mau waktunya berlalu sia-sia, karena ia yakin bahwa waktu adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada manusia. Pelajaran kedua dari shalat adalah kebersihan.

Tidak akan pernah diterima shalat seseorang apabila tidak diawali dengan bersuci. Hikmahnya, orang yang akan sukses adalah orang yang sangat cinta dengan hidup bersih. Dalam QS. As Syams: 9-10 Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan dirinya dan sesungguhnya sangat merugi orang yang mengotori dirinya". Dengan kata lain, siapa yang shalatnya khusyuk maka ia akan selalu berpikir bagaimana lahir batinnya bisa selalu bersih.

Mulai dari dhahir, rumah harus bersih. Bersih dari sampah, dari kotoran, dan bersih dari barang-barang milik orang lain. Sikap pun harus bersih. Mata, telinga, dan juga lisan harus bersih dari maksiat dan hal-hal yang tak berguna. Dan yang terpenting pikiran dan hati kita harus bersih. Bersihnya hati akan memunculkan kepekaan terhadap setiap titik dosa, dan inilah awal dari kesuksesan.

Ketiga, sebelum memulai shalat kita harus memasang niat. Niat sangat penting dalam ibadah. Diterima tidaknya sebuh ibadah akan sangat dipengaruhi oleh niat. Seorang yang shalatnya khusyu akan selalu menjaga niat dalam setiap perbuatan yang dilakukannya. Ia tidak mau bertindak sebelum yakin niatnya lurus karena Allah. Ia yakin bahwa Allah hanya akan menerima amal yang ikhlas. Apa ciri orang ikhlas? Ia jarang kecewa dalam hidupnya. Dipuji dicaci, kaya miskin, dilihat tidak dilihat, tidak akan berpengaruh pada dirinya, karena semua yang dilakukannya mutlak untuk Allah.

Setelah niat, shalat memiliki rukun yang tertib dan urutannya. Jadi, hikmah keempat dari orang yang khusyuk dalam shalatnya adalah cinta keteraturan. Ketidakteraturan hanya akan menjadi masalah. Shalat mengajarkan kepada kita bahwa kesuksesan hanya milik orang yang mau teratur dalam hidupnya. Orang yang shalatnya khusyuk dapat dilihat bagaimana ia bisa tertib, teratur, dan
prosedural dalam hidupnya.

Kelima, hikmah dari manajemen shalat yang khusyuk adalah tuma'ninah. Tuma'ninah mengandung arti tenang, konsentrasi, dan hadir dengan apa yang dilakukan. Shalat melatih kita memiliki ritme hidup yang indah, di mana setiap episode dinikmati dengan baik. Hak istirahat dipenuhi, hak keluarga, hak pikiran dipenuhi dengan sebaiknya. Rasulullah pun menganjurkan kita untuk proporsional dalam beragama, karena itu salah satu tanda kefakihan seseorang. Bila ini bisa kita lakukan dengan baik insya Allah kita akan mendapatkan kesuksesan yang paripurna., yaitu sukses di kantor, sukses di keluarga, dan sukses di masyarakat.

Keenam, shalat memiliki gerakan yang dinamis. Sujud adalah gerakan paling mengesankan dari dinamisasi shalat. Orang menganggap bahwa kepala merupakan sumber kemuliaan, tapi ketika sujud kepala dan kaki sama derajatnya. Bahkan setiap orang sama derajatnya ketika shalat. Ini mengandung hikmah bahwa dalam hidup kita harus tawadhu. Ketawadhuan adalah cerminan kesuksesan mengendalikan diri, mengenal Allah, dan mengenal hakikat hidupnya. Bila kita tawadhu (rendah hati) maka Allah akan mengangkat derajat kita. Kesuksesan seorang yang shalat dapat dilihat dari kesantunan, keramahan, dan kerendahan hatinya. Apa cirinya? Ia tidak melihat orang lain lebih rendah daripada dirinya.

Hikmah terakhir dari shalat yang khusyuk adalah salam. Shalat selalu diakhiri dengan salam, yang merupakan sebuah doa semoga Allah memberikan keselamatan, rahmat, dan keberkahan bagimu. Ucapan salam ketika shalat merupakan garansi bahwa diri kita tidak akan pernah berbuat zalim pada orang lain. Ini adalah kunci sukses, karena setiap kali kita berbuat zalim, maka kezaliman itu akan kembali pada diri kita.

Inilah tujuh hikmah yang bisa kita ambil dari manajemen shalat khusyuk. Bila kita mampu mengaplikasikannya, insya Allah kesuksesan dunia dan akhirat ada dalam genggaman kita. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: Aa Gym

Sabar Itu Indah

Manusia seringkali berlaku egois. Ketika menginginkan rindu sesuatu, ia berdoa habis-habisan dan berupaya sungguh-sungguh demi tercapainya segala yang dirindukan. Tatkala berhasil, serta-merta ia pun melupakan Allah. Bahkan ia menganggap bahwa keberhasilan itu adalah hasil jerih payah dirinya sendiri.

Sebaliknya, bila kegagalan menimpa, ia sering kecewa karenanya. Terkadang ia berburuk sangka kepada Allah dan menimpakan kekecewaannya itu kepada siapa saja yang dianggap biang penyebab kegagalan tersebut. Padahal, rasa kecewa, sedih, dan kesal itu lahir karena manusia terlalu berharap bahwa kehendak Allah harus selalu cocok dengan keinginannya.

Jelas dari kedua sikap tersebut ada sesuatu yang terlewatkan. Yaitu sikap sabar, tawakal, dan syukur nikmat. Karenanya, beruntunglah orang yang memiliki sikap sabar ketika musibah datang menimpa dan memiliki syukur ketika keberuntungan datang menerpa.

Sabar, menurut Dzunnun Al-Mishry, adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan agama dan bersikap tenang manakala terkena musibah, serta berlapang dada dalam kefakiran di tengah-tengah medan kehidupan. Atau, seperti kata Al-Junaid, "Engkau menelan suatu kepahitan tanpa mengerutkan muka".

Adapun syukur, adalah tindakan memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Seseorang dikatakan bersyukur kepada Allah, apabila ia mengakui nikmat itu di dalam batinnya, lalu membicarakannya dengan lisan, serta menjadikan karunia nikmat itu sebagai ladang ketaatan kepada-Nya. Pada hakikatnya syukur itu merupakan perwujudan sikap sabar ketika manusia mendapat nikmat.

Mengapa kita harus bersabar ketika mendapatkan nikmat? Karena, karunia nikmat itu justru akan menggelincirkan manusia ke dalam kekhilafan dan memperturutkan hawa nafsu. Betapa banyak orang yang mampu bersabar ketika diberikan ujian, tapi tak mampu bersabar ketika diberi kenikmatan.

Lalu seberapa mampukah kita merasakan nikmatnya sabar?
Syahdan, di masa Rasulullah SAW, sebuah ujian menimpa Ummu Sulaim. Suatu hari anaknya meninggal dunia, padahal suaminya sedang bepergian. Ummu Sulaim berusaha agar kematian anaknya itu tidak diketahui dengan tiba-tiba oleh sang suami sedatangnya dari perjalanan nanti. Ia pun mempersiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan suaminya.

Ketika sang suami datang, ia pun segera menyantap hidangan yang telah dipersiapkan dengan lahapnya. "Bagaimana keadaan anak kita sekarang?" tanya suaminya. "Alhamdulillah, sejak sakitnya itu tidak pernah setenang malam ini," jawab Ummu Sulaim.

Sementara itu, Ummu Sulaim menghias diri dengan memakai pakaian terindah yang dimilikinya, agar sang suami timbul hasratnya. Tak lama setelah sang suami menggauli dan memuaskan hajatnya, Ummu Sulaim mulai bertanya, "Apakah Kanda tidak merasa heran dengan tetangga-tetangga kita itu?"

"Mengapa mereka?" tanya suaminya.
"Mereka itu diberi pinjaman, tetapi setelah diminta kembali, tiba-tiba mereka menyatakan kedukacitaan yang luar biasa," jawab Ummu Suliam.

"Buruk sekali kelakukan mereka itu," ujar suaminya.
Ketika itulah ia memberitahukan apa sebenarnya yang terjadi terhadap anaknya. "Kanda," ujarnya. "Bukankah anak kita itu hanya pinjaman dari Allah? dan kini Allah telah memanggilnya kembali".

Setelah mendengar perkataan istrinya tersebut, sang suami pun sadar akan apa yang terjadi. "Alhamdulillah, inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun," ujarnya penuh ketabahan.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar suaminya pergi ke tempat Rasulullah SAW dan memberitahukan kejadian tersebut. Rasul pun berdoa untuk keluarga itu, "Ya Allah, berilah keberkahan untuk kedua suami istri itu pada malam harinya tadi".

Dalam kisah lain diceritakan bagaimana sedihnya Nabi Ya'kub ketika mendengar anaknya, Yusuf meninggal, hingga dikisahkan bagaimana matanya menjadi putih (QS. Yusuf: 84). Dan kesedihan itu semakin bertambah ketika anaknya yang lain Bunyamin ditahan pemerintah Mesir. Namun, apa yang dikatakan Nabi Ya'kub ketika itu? "Fa shabrun jamiil" (QS. Yusuf: 83). Sabar itu indah!

Jadi, kemampuan merasakan nikmatnya sabar terletak pada seberapa besar mutu pengakuan akan adanya takdir dan kemahakuasaan Allah SWT. Seseorang bisa sabar - seperti yang dilakukan Ummu Sulaim dan suaminya - bila ia mampu meyakini bahwa semua yang terjadi karena izin Allah dan meyakini bahwa Allah tidak akan mendzalimi hamba-Nya.

Sa'ad bin Jubair memberikan contoh tentang seorang budak belian yang dipukul dengan cambuk. Namun sikap budak tersebut seolah-olah mencerminkan makna firman-Nya, Inna lillahi _ Sesungguhnya kami hanya milik Allah semata. Jadi, ia mengakui bahwa dirinya adalah kepunyaan Allah yang bebas dipergunakan dan diapakan saja oleh Allah. Sedangkan harapannya akan pahala dikarenakan musibah tersebut seakan merupakan makna dari firman-Nya, Wa inna ilaihi raaji'uun _ Dan kepada-Nya kita kembali. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Abu Bakar As-Siddiq jatuh sakit, dan para sahabat yang menjenguknya bertanya, "Saudaraku, tidakkah sebaiknya kami panggilkan saja tabib?". Abu Bakar menjawab, "Sudah, tabib sudah memeriksaku". "Apa yang dikatakannya?" tanya mereka. Abu Bakar menjawab, "Dia katakan, 'Aku Maha Berbuat terhadap apa yang Aku kehendaki _!".

Dengan demikian, syarat mutlak orang bisa bersabar adalah ketika ditimpa sesuatu, pikirannya langsung tertuju hanya kepada Allah SWT. Inilah kunci terpenting yang harus dimiliki siapa saja yang ingin menjadi ahli sabar.

Karena itu, keindahan dan keluhuran pribadi seseorang dapat dilihat dari sejauh mana ia pandai bersabar. Semakin seseorang mampu bersabar, niscaya akan semakin indah pula akhlaknya. Jaminan Allah pun demikian luar biasa bagi ahli sabar. "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas!" (QS. Az-Zumar:10).

"Dan berikanlah kabar gembira pada orang-orang yang sabar, yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, 'Inna lillaahi wa inna ilahi raaji'uun'. Mereka itulah orang-orang yang mendapat rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. Al-Baqarah:155-157). Wallahu a'lam bish-shawab

Oleh: Aa Gym

Ilmu Yang Bermanfaat

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. Al-Mujaadilah: 11).

Janganlah sekali-kali engkau menuntut ilmu dengan maksud untuk bermegah-megah, menyombongkan diri, berbantah-bantahan, menandingi, dan mengalahkan orang lain (lawan bicara), atau supaya orang mengagumimu.

MAHABESAR Allah yang dengan ilmu-Nya telah membuat jagat raya beserta isinya tercipta. Betapa Ia menciptakan segala yang dikehendakinya itu cukup dengan jadilah; "kun fayakun!"

Sepintar apapun manusia, ia begitu kecil di hadapan Allah. Ilmu yang dimilikinya hanyalah setetes kecil saja dari samudera ilmu yang Allah miliki. Dalam QS. Lukman: 27, Allah SWT berfirman, "Dan seandainya pohon-pohon dijadikan pena dan laut (dijadikan) tinta, ditambah kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu dan hikmah) Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana".

Karena itu, alangkah tidak pantasnya bila seseorang menjadi ujub dan takabur, karena ilmu yang dimilikinya. Mestinya, semakin tinggi ilmu maka semakin bertambah pula rasa takjub dan takutnya kepada Allah.

Seseorang menjadi ujub, riya, dan takabur dengan ilmunya - apalagi bila digunakan untuk membuat kerusakan dan kemudharatan di muka bumi, tiada lain karena ilmu yang dimilikinya itu tidak mengandung hikmah dan manfaat. Maka pantaslah kalau Rasulullah SAW memohon, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat".

LALU seperti apakah ilmu yang bermanfaat itu? Suatu ketika Allah SWT memberi wahyu kepada Nabi Daud, "Wahai Daud, pelajarilah olehmu ilmu yang bermanfaat".

"Ya, Allah, apakah ilmu yang bermanfaat itu?" tanya Daud. "Ialah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui keluhuran, keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan kekuasaan-Ku atas segala sesuatu. Inilah yang mendekatkan engkau kepada-Ku".

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ar-Rabi'i Rasulullah SAW bersabda, "Tuntutlah ilmu. Sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla, sedangkan mengajarkannya pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya dalam kedudukan terhormat dan mulia. Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat".

Sahabat, ternyata ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang menyebabkan kita makin mengenal dan dekat dengan Allah SWT. Ilmu apapun, sekiranya dapat membuat kita semakin dekat dan semakin kagum akan kebesaran-Nya, maka itulah ilmu yang bermanfaat.

Ilmu yang bisa menjadi jalan taat kepada Allah akan membuat seseorang menjadi tawadhu dan rendah hati di hadapan orang lain. Ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk. Maka semakin bertambah ilmu seseorang, akan semakin bersih pula hatinya dari penyakit tercela. Ia akan terpelihara dari sikap ujub, riya, takabur, dengki, dan memandang rendah orang lain.

Dengan ilmu itu pula, ia akan menjadi jalan bagi sebesar-besarnya kemaslahatan dan kemanfaatan semua orang. Keberadaannya bagaikan cahaya penerang dalam kegelapan. Menjadi petunjuk bagi orang yang tersesat jalannya. Orang-orang di sekelilingnya akan merasa tenang dan tenteram atas kehadirannya. Allah sendiri telah berjanji dalam Alquran, "_Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. Al-Mujaadilah: 11).

BAGAIMANA caranya agar kita bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat tersebut? Hal pertama dan utama adalah keikhlasan ketika mencarinya. Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali menulis,

"Wahai hamba Allah yang rajin menuntut ilmu. Jika kalian menuntut ilmu, maka niatkanlah dengan ikhlas karena Allah semata. Di samping itu, juga dengan niat karena melaksanakan kewajiban karena menuntut ilmu wajib hukumnya, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW, 'Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim laki-laki maupun perempuan' (HR. Ibnu Abdul Barr).

Janganlah sekali-kali engkau menuntut ilmu dengan maksud untuk bermegah-megahan, menyombongkan diri, berbantah-bantahan, menandingi, dan mengalahkan orang lain (lawan bicara), atau supaya orang mengagumimu. Jangan pula engkau menuntut ilmu untuk dijadikan sarana mengumpulkan harta kekayaan duniawi. Yang demikian itu akan merusak agama dan mudah membinasakan dirimu sendiri.

Rasulullah yang mulia melarang hal seperti itu dengan sabdanya, 'Barangsiapa menuntut ilmu yang biasanya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah, tiba-tiba ia tidak mempelajarinya, kecuali hanya untuk mendapatkan harta duniawi, maka ia tidak akan memperoleh bau harumnya syurga pada hari kiamat' (HR. Abu Dawud).

Dalam hadis lain beliau bersabda, 'Janganlah kalian menuntut imu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut imu untuk penampilan dalam majelis dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu, maka baginya neraka' (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

'Seorang alim apabila menghendaki dengan ilmunya keridhaan Allah, maka ia akan ditakuti segalanya. Akan tetapi, jika ia bermaksud untuk menumpuk harta, maka ia akan takut dari segala sesuatu,' demikian sabda Rasulullah SAW dalam riwayat lain (HR. Ad-Dailami)".

SAHABAT. Kita harus menggunakan waktu yang sangat singkat ini untuk mencari ilmu yang bermanfaat bagi agama maupun bagi diri dan lingkungan kita. Sekali lagi, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dapat menambah ketakwaan dan pengenalan kita pada Allah SWT.

Ilmu yang bisa menambah kemampuan kita untuk melihat cacat serta kekuarangan diri. Ilmu yang dapat mengurangi kegilaan kita pada duniawi, dan menambah kecintaan kita pada kampung akhirat yang kekal. Juga, ilmu yang dapat membuka mata dan hati terhadap semua hal yang bisa merusak amal ibadah kita. Wallahu a'lam bish-showab.

Oleh: KH. Abdullah Gymnastiar

Jiwa Mandiri Kunci Harga Diri

Kehormatan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketika hati kita bebas dari bergantung kepada selain Allah SWT. Perjuangan kita untuk menjaga harga diri dari meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan kita. Jiwa mandiri adalah kunci harga diri.

Segera setelah berhijrah ke Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan orang-orang Anshar dan Muhajirin. Ada satu kisah menarik yang terjadi ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa'ad bin Rabi--orang paling kaya dari golongan Anshar.

Ketika itu Sa'ad berkata kepada Abdurrahman: "Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan mana yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperistrinya.

Jawab Abdurrahman bin 'Auf: "Semoga Allah memberkati anda, juga isteri dan harta anda! Tunjukkanlah letaknya pasar agar aku dapat berniaga....! Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjualbelilah di sana.......

Hingga suatu ketika Rasul menyapanya, "Bagaimana keadaanmu sekarang, wahai Abdurrahman?" Ia pun menjawab, "Ya Rasulullah, saya sudah menikah dan maharnya saya bayar dengan emas.

SAHABAT, kita sangat layak untuk meneladani sikap yang ditunjukkan Abdurrahman bin Auf di atas. Itulah kemandirian yang berakar dari terjaganya harga diri. Sebuah sikap terpuji yang mulai hilang dalam kehidupan masyarakat kita.

Sudah menjadi keniscayaan, jika kita bersandar kepada selain Allah, pasti kita akan takut kalau sandaran itu diambil orang. Tapi bila kita bergantung kepada Allah SWT, maka tak ada sedikitpun keraguan dan kecemasan yang akan menghampiri. Allah tidak akan mengabaikan orang yang bersungguh-sungguh berharap kepada-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, "Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta".

Jiwa mandiri adalah kunci harga diri. Selain akan merdeka dalam hidupnya, orang yang mandiri akan lebih rasa percaya diri, sehingga bisa melakukan pekerjaan lebih banyak, ucapannya lebih bermakna, dan waktunya akan lebih efektif. Karena itu, perjuangan kita untuk menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan sejati.

Tapi kenapa ada orang yang begitu "tega" menggadaikan harga dirinya demi harta duniawi yang sedikit? Ataupun--dalam skala luas--kenapa bangsa kita yang demikian kaya harus mengemis minta bantuan negara lain? Jawabnya, kita terlalu menganggap topeng dunia sebagai sumber harga diri. Sebagian besar kita terlalu sibuk membangun aksesoris duniawi, tanpa disertai kesibukan membangun harga diri. Tak mengherankan apabila ada orang yang jabatannya tinggi tapi perbuatannya rendah. Atau ada yang hartanya banyak, tapi jiwanya miskin.

KITA harus mulai bangkit menjadi manusia-manusia berjiwa mandiri. Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan. Pertama, tekadkan dalam diri untuk menjadi orang yang mandiri. Dalam hidup yang hanya sekali ini, kita harus terhormat dan jangan menjadi budak dari apapun selain Allah SWT. Tekadkan terus untuk selalu menjaga kehormatan diri dan pantang menjadi beban. Andai pun hidup kita membebani orang lain, kita harus berusaha membalas dengan apa-apa yang bisa kita lakukan. Ketika kita membebani orangtua, maka harga diri kita adalah membalas kebaikan mereka. Begitupun kepada guru, teman, atau tetangga. Jangan sampai diri kita terhina karena menjadi benalu dan peminta-minta yang hanya menyusahkan orang lain.

Kedua, berani memulai. Hanya dengan keberanian orang bisa bangkit untuk mandiri. Tidak pernah kita berada di atas tanpa terlebih dahulu memulai dari bawah. Adalah mimpi menginginkan hidup sukses tanpa mau bersusah payah terlebih dulu.

Sungguh, dunia ini hanyalah milik para pemberani. Kesuksesan, kebahagiaan, dan kehormatan sejati hanyalah milik pemberani. Orang pengecut tidak akan pernah mendapatkan apa-apa karena ia melumpuhkan kekuatannya sendiri. Kejarlah dunia ini dengan keberanian. Lawanlah ketakutan dengan keberanian. Takut gelap, berjalanlah di tempat gelap. Takut berenang, segeralah menceburkan diri ke air. Semakin kita mampu melawan rasa takut, rasa malas, dan rasa tidak berdaya, maka akan semakin dekat pula keberhasilan itu dengan diri kita. Memang, segala sesuatu ada resikonya. Tapi inilah harga yang harus kita bayar dalam mengarungi hidup. Kalau kita tidak mau membayar harganya, kita pasti akan tersisih.

Ketiga, nikmatilah proses. Segalanya tidak ada yang instan, semua membutuhkan proses. Keterpurukan yang menimpa negeri kita, salah satu sebabnya karena kita ingin segera mendapatkan hasil. Padahal, tidak mungkin ada hasil tanpa memperjuangkannya terlebih dahulu.

Kita harus mau belajar menikmati proses perjuangan, menikmati tetesan keringat dan air mata. Dengan perjuangan nilai kehormatan yang sesungguhnya bisa terwujud. Kita jangan terlalu memikirkan hasil. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik. Allah tidak akan memandang hasil yang kita raih, tapi Ia akan memandang kegigihan kita dalam berproses.

Kita tidak tahu kapan negeri ini akan bangkit. Tetapi bagaimana pun kita harus memulai dengan sesuatu. Ingatlah selalu kisah seorang kakek yang dengan semangat menanam pohon kurma. Ketika ditanya untuk apa ia melakukan semua itu, maka ia menjawab, "Bukankah kita makan kurma sekarang karena jasa orang-orang yang sudah meninggal. Kenapa kita tidak mewariskan sesuatu untuk generasi sesudah kita?".

Namun, jangan sampai kegigihan dan kemandirian kita mendatangkan rasa ujub akan kemampuan diri. Kemandirian yang sejati seharusnya membuat kita tawadhu, rendah hati. Sertailah kegigihan kita untuk mandiri dengan sikap tawadhu dan tawakal kepada Allah SWT.

Jadi, kemandirian bukan untuk berbangga diri, tapi harus membuat kita lebih memiliki harga diri, bisa berprestasi, dan tidak membuat kita tinggi hati. Wallahua'lam.

Oleh: KH. Abdullah Gymnastiar