Rabu, 26 Mei 2010

Terpuruknya Kemuliaan Diri

Nasib manusia tak ubahnya seperti roda yang berputar. Kadang ia berada di atas, namun pada kali lain tiba-tiba berada di bawah. Hari ini seseorang mungkin tengah asyik menikmati karunia kemuliaan. Hidup penuh gelimang penghargaan, penghormatan, dan pujian dari sesama manusia lantaran harta, gelar, dan jabatan tergenggam di tangan. Akan tetapi, esok lusa mungkin ia jatuh terpuruk menjadi makhluk yang hina dina.

Hidup berlumuran aib, sehingga ke mana pun kakinya melangkah, cercaan, celaan, cibiran, dan cemoohan senantiasa menimpuki sekujur tubuhnya. Orang-orang yang dulu menghormati dan mengalunginya dengan sanjung puji telah menjauhinya sejauh-jauhnya. Tinggallah ia sendiri menjalani hidup tanpa harga diri. Beruntunglah bila semua hanyalah "sekadar" ujian dari Allah dan disadari sepenuhnya, sehingga ia pun menjadi ahli syukur ketika ujian berupa bala bencana datang mendera.

Tetapi, sungguh amat celaka bila semua itu tak lebih merupakan laknat Allah sehingga datangnya dunia membuat ia terlena, sehingga ia tidak punya harga hidup di dunia. Sedangkan datangnya bencana membuat dirinya benar-benar tidak lagi punya harga hidup di dunia. Baik dalam pandangan manusia maupun dalam pandangan-Nya. Harga diri adalah barang teramat mahal yang sekali-kali tidak akan bisa dibeli dengan uang.

Namun, sayangnya manusia yang telah mabuk dengan harta, gelar, dan kedudukan, justru beranggapan bahwa harga diri akan datang bila segala asesoris duniawi itu tergenggam erat di tangan. Padahal, demi Allah, itulah jiwa materialistis yang akan menghancurkan harga diri seseorang. Menurut Prof Emil Salim, ada lima ciri bangsa yang telah terasuki karakter kapitalistik. Pertama, segalanya hanya diukur dengan materi. Kedua, rakus, tamak, dan tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan diri.

Ketiga, aji mumpung. Keempat, individualistis atau hanya mau mementingkan dirinya sendiri. Dan kelima, hanya mau berkalkulasi untung rugi. Sekiranya kita telah ikut terasuki karakter seperti ini, maka hancurnya harga diri dan tinggal menunggu waktu. Apa saja faktor penghancur harga diri tersebut? Tak tahu malu dan enggan membalas jasa budi baik orang lain merupakan dua di antara empat karakter negatif yang sangat potensial membuat terpuruknya kemuliaan diri itu.

Tidak tahu malu
Inilah faktor pertama yang sangat potensial dapat menghancurkan harga diri kita. Sekali seseorang tebal muka, bermuka badak, maka ia tidak akan pernah merasa malu kalau hidupnya menjadi beban bagi orang lain. Di rumah, di kantor, maupun di lingkungan masyarakatnya ia hanya menjadi beban lantaran telapak tangannya selalu ia tadahkan kepada orang lain. Ketika pergi ke sekolah atau ke kantor, ia sangat senang mencari tumpangan.

la begitu menikmati jok mobil atau motor temannya tanpa sedikit pun terlintas di benaknya untuk membalas jasa, membelikan bensin atau mencucikan kendaraannya, misalnya. Hidup berkeluarga, bertahun-tahun ikut numpang di rumah mertua, namun semuanya ia jalani dengan ringan, tanpa berpikir sama sekali untuk turut membayarkan listrik, telepon, atau air ledeng yang sehari-hari dipakainya. Pemuda yang telah tamat sekolah, susah mencari kerja, tetapi sehari-hari hanya duduk mencangkung, sementara batang demi batang rokok ia isap, yang uang pembelinya ia dapatkan dari orang tua.

Siapa pun yang selama hidupnya hanya mengharapkan uluran tangan orang lain tanpa kemauan untuk suatu ketika memberikan sesuatu kepada orang lain, maka sehebat apapun ia, manusia-manusia benalu semacam ini tidak akan pernah mempunyai nilai. Islam mengajarkan, harga diri kita harus dijaga sekuat-kuatnya. Allah yang Mahakaya tidak mungkin lupa terhadap kebutuhan hamba-hamba-Nya. Terlalu berharap banyak dar makhluk, banyak suka terhadap apa yang ada di tangan orang lain; semua ini hanya akan membuat rontoknya wibawa dan kemuliaan diri kita.

Benar, kita memiliki beberapa kekurangan yang membuat kita membutuhkan pertolongan orang lain. Akan tetapi, hal yang harus kita ingat baik-baik adalah bahwa setiap kali kita menjadi beban bagi orang lain, maka kita pun harus berjuang sekuat tenaga agar bisa meringankan beban orang lain semampu kita. Belajarlah untuk malu menikmati sesuatu yang bukan menjadi hak kita. Karena, tanpa ini kita tidak akan pernah mempunyai harga dalam mengarungi hidup di dunia ini.

Tidak tahu balas budi
Membalas budi baik yang pernah dilakukan orang lain terhadap kita, sebenarnya bukanlah perkara yang sulit. Akan tetapi, sungguh tidak banyak orang yang memiliki kemauan dan kemampuan semacam ini. Padahal, ketika sangat membutuhkan bantuan seseorang. Kita begitu bersungguh-sungguh mengiba karena amat berharap orang sudi memberikan pertolongan. Namun. begitu masalah terpecahkan, kita pun segera melupakannya seolah-olah jalan keluar itu datang dengan sendirinya.

Satu contoh ringan saja. Ketika sakit biasanya kita segera pergi ke dokter untuk berobat. Namun, apa yang terjadi setelah penyakit sirna dari tubuh? Kita pun segera kembali tenggelam dengan kesibukan sehari-hari. Hampir tidak pernah terlintas dalam pikiran kita untuk mengangkat gagang telepon atau menulis surat sekadar untuk mengucapkan terima kasih kepada dokter tersebut. "Bukankah sudah saya berikan sekian ribu rupiah untuk jasa pengobatan?," itulah yang paling lumrah kita ucapkan.

Bahkan, ada sebuah pepatah, "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Bertahun-tahun seseorang telah menghidupi kita. Dari asalnya seorang pengangguran, diberinya kita lapangan pekerjaan. Kebutuhan kita pun jadi tercukupi berkat imbalan yang diberikan. Terkadang kita lalai, terkadang pula mungkin sempat mengambil yang bukan menjadi hak kita. Namun, tidak membuat kita diberhentikan dari pekerjaan. Apa yang terjadi kemudian?

Suatu ketika orang itu berbuat sesuatu yang membuat perasaan kita tersakiti, maka serta-merta hilanglah segala kebaikan yang selama ini ia berikan. Yang melingkar di dalam pikiran justru keburukan yang pernah dilakukannya kepada kita itu, walau mungkin hanya satu kali. Bukan tidak mungkin pula, hal itu hanya sebuah kesalahpahaman. Nah, bisakah harga diri kita pertahankan bila memiliki karakter demikian? Sanggupkah kita mengubah persepsi negatif terhadap orang lain yang justru diakibatkan oleh peremehan kita terhadap jasa orang tersebut? Mari kita renungkan dalam-dalam! Wallahu a'lam bisshawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Membangun Jiwa Mandiri

Kehormatan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketika hati kita bebas dari bergantung kepada selain Allah SWT. Perjuangan kita untuk menjaga harga diri dari meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan kita. Jiwa mandiri adalah kunci harga diri.

Satu hal yang telah hilang dari bangsa kita adalah harga diri. Betapa kita sangat bergantung kepada negara lain untuk pinjaman dan investasi. Tak aneh bila negara kita memiliki banyak utang sehingga mudah dipermainkan oleh negara yang meminjami utang tersebut.

Mengapa semua ini terjadi? Jawabnya, sebagian besar kita terlalu sibuk membangun aksesoris duniawi yang dianggap serba berharga. Kita tidak sibuk membangun harga diri. Tidak mengherankan apabila ada orang yang jabatannya tinggi, tapi perbuatannya rendah dan nista. Atau ada yang hartanya banyak, tapi jiwanya miskin. Kita terlalu menganggap topeng dunia sebagai sumber kemuliaan dan harga diri.

Sudah menjadi keniscayaan, setiap kita bergantung kepada selain Allah, pasti kita akan takut kalau sandaran itu diambil orang. Bila kita dengan sepenuh hati bergantung kepada Allah SWT, maka yakinlah bahwa Allah tidak akan mengabaikan orang yang bersungguh-sungguh berharap kepada-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT berfirman, "Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta".

Dari sini jelas bahwa kehormatan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketika hati kita bebas dari bergantung kepada selain Allah. Perjuangan kita untuk menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta kepada selain Allah adalah bukti kemuliaan sejati. Jiwa mandiri adalah kunci harga diri. Orang yang mandiri, hidupnya akan bebas dan merdeka.

Keuntungan lain dari sikap mandiri adalah tumbuhnya rasa percaya diri. Kemandirian akan sumber kekuatan dan vitalitas dalam perjuangan. Orang yang percaya diri bisa melakukan pekerjaan jauh lebih banyak, kata-katanya jauh lebih bermakna, dan waktunya akan jauh lebih efektif daripada orang selalu bergantung kepada orang lain.

Dengan bersikap mandiri hidup akan terasa lebih tenang. Seorang istri tidak akan pernah khawatir ditinggal oleh suaminya, bila ia memiliki sikap mandiri. Ia tahu bahwa semua rezeki sudah diatur secara adil oleh Allah SWT. Tak ada satu pun makhluk kecuali sudah ditetapkan rezekinya. Tugas kita adalah menjemput dan mencari berkah dari karunia Allah SWT tersebut.

Kita harus mulai bangkit menjadi bangsa yang mandiri. Bangsa yang mandiri tidak akan pernah terwujud selama pribadi-pribadi yang menyusun bangsa tersebut tidak pernah belajar menjadi pribadi yang mandiri. Apa kuncinya? Pertama, mandiri adalah sikap mental. Jadi seseorang harus memiliki tekad kuat untuk menjadi orang yang mandiri. Dalam hidup yang hanya sekali ini, kita harus terhormat dan jangan menjadi budak dari apapun selain Allah SWT. Tekadkan terus untuk selalu menjaga kehormatan diri dan pantang menjadi beban. Andai pun hidup kita membebani orang lain, kita harus berusaha membalas dengan apa-apa yang bisa kita lakukan. Ketika kita membebani orang tua, maka harga diri kita adalah membalas kebaikan mereka. Begitupun kepada guru, teman, atau tetangga. Jangan sampai diri kita terhina karena menjadi benalu atau peminta-minta yang hanya bisa menyusahkan orang lain.

Kedua, kita harus memiliki keberanian. Berani apa? Berani mencoba dan berani memikul risiko. Hanya dengan keberanian orang bisa bangkit untuk mandiri. Tidak pernah kita berada di atas tanpa terlebih dahulu memulai dari bawah. Adalah mimpi menginginkan hidup sukses tanpa mau bersusah payah dan berkorban.

Sungguh, dunia ini hanyalah milik para pemberani. Kesuksesan, kebahagiaan, dan kehormatan sejati hanyalah milik pemberani. Orang pengecut tidak akan pernah mendapatkan apa-apa karena ia melumpuhkan kekuatannya sendiri. Kejarlah dunia ini dengan keberanian. Lawanlah ketakutan dengan keberanian. Takut gelap, berjalanlah di tempat gelap. Takut berenang, segeralah menceburkan diri ke air. Semakin kita mampu melawan rasa takut, rasa malas, dan rasa tidak berdaya, maka akan semakin dekat pula keberhasian itu dengan diri kita. Semakin sering kita melawan rasa takut, insya Allah keberanian akan muncul perlahan-lahan. Tentu semua ada risikonya, tapi inilah harga yang harus kita bayar dalam mengarungi hidup. Kalau kita tidak mau membayar harganya, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan.

Ketiga, nikmatilah proses. Segalanya tidak ada yang instan, semua membutuhkan proses. Menjalani proses adalah sunatullah. Negeri ini tidak mungkin berubah dalam sehari atau dua hari. Kita harus belajar menikmati proses perjuangan, menikmati tetesan keringat dan air mata. Perjuangan adalah nilai kehormatan kita yang sesungguhnya. Kita jangan terlalu memikirkan hasil. Tugas kita adalah melakukan yang terbaik. Allah tidak akan memandang hasil yang kita raih, tapi Ia akan memandang dan menilai kegigihan kita dalam berproses. Keterpurukan yang menimpa bangsa kita, salah satu penyebabnya adalah karena kita ingin segera mendapatkan hasil. Padahal, tidak mungkin ada hasil, tanpa memperjuangkannya terlebih dahulu.

Kita tidak tahu kapan negeri ini akan bangkit. Tetapi bagaimana pun kita harus memulai dengan sesuatu. Ingatlah selalu kisah seorang kakek yang dengan semangat menanam pohon kurma. Ketika ditanya untuk apa ia melakukan semua itu, ia menjawab, "Bukankah kita makan kurma sekarang ini karena jasa orang-orang yang sudah meninggal. Kenapa kita tidak mewariskan sesuatu untuk generasi sesudah kita?".

Namun, jangan sampai kegigihan dan kemandirian yang kita lakukan mendatangkan rasa ujub akan kemampuan diri. Proses kemandirian yang sejati harus membuat kita tawadhu, rendah hati. Sertailah kegigihan kita untuk mandiri dengan rasa tawadhu dan tawakal kepada Allah SWT, karena tidak ada sedikit pun kekuatan dalam diri kita kecuali dengan kekuatan dari Allah Yang Mahakuat.

Intinya, kemandirian bukan untuk berbangga diri, tapi harus membuat kita lebih memiliki harga diri, bisa berprestasi, dan tidak membuat kita tinggi hati. Wallahua'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Menyikapi Perubahan

Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini seperti hari kemarin, ia adalah orang yang rugi. Dan barangsiapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka dia adalah orang yang tertipu". Beberapa waktu lalu, Aa berceramah di sebuah instansi pemerintah yang mengurusi masalah angkutan laut. Dalam kesempatan itu Aa sempat pula berdialog dengan para direksinya.

Terungkap dalam dialog itu bahwa instansi tersebut tengah mengalami masa-masa sulit, yakni jumlah pengguna pelayanan kapal laut terus mengalami penurunan. Sebabnya, masyarakat cenderung memilih angkutan udara yang lebih cepat dan semakin murah tarifnya. Berkurangnya pengguna jasa kapal jelas mempengaruhi tingkat pendapatan, padahal biaya operasional dan gaji karyawan begitu besar dan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.

Biaya operasional akan terus bertambah dengan datangnya kapal baru yang dipesan beberapa tahun sebelumnya. Ini adalah masalah yang sangat pelik. Mau tidak mau pemerintah dan semua pihak yang terkait harus mencarikan solusi yang menguntungkan semua. Di balik persoalan itu ada satu hal yang harus kita ambil sebagai pelajaran bahwa kita harus siap dengan segala perubahan. Tidak ada satu pun yang tetap dalam hidup ini. Yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri. Untuk menghadapi perubahan diperlukan adanya kesadaran bahwa hidup ini akan terus berubah.

Boleh saja sekarang hidup kita enak, tapi siapa tahu besok lusa kita akan merana bila kita tidak mau berubah. Aa teringat pada apa yang dikatakan Duta Besar Jepang untuk Indonesia tempo hari, bahwa ia merasa khawatir bangsa Jepang tidak akan mampu bertahan pada 2009 nanti, karena perubahan dunia begitu cepat dan menggila. Jelasnya, hanya bangsa yang kuat dan mempersiapkan diri sajalah yang akan mampu bertahan dan menjadi pemenang. Melihat kenyataan seperti ini, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk berleha-leha, membuang-buang waktu, lamban, banyak membuat kesalahan, tidak punya perencanaan hidup, atau menjalani kehidupan seadanya. Bila semua ini tetap kita jalani, maka kehancuran dan keterpurukan tinggal menunggu waktu saja.

Langkah apa yang harus kita lakukan sekarang? Kuncinya, kita harus punya semangat untuk berubah. Kata perubahan adalah kata kunci bagi mereka yang mau beruntung dan sukses dalam hidup. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, maka dialah orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini seperti hari kemarin, ia adalah orang yang rugi. Dan barangsiapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka dia adalah orang yang tertipu". Artinya hanya orang yang mau berubah sajalah yang beruntung. Selain itu, ia orang yang merugi bahkan tertipu. Oleh karena itu, yang harus ada di benak kita adalah keinginan untuk terus berubah dan terus menjadi lebih baik. Hari ini harus bertambah ilmu. Hari ini harus bertambah wawasan. Hari ini harus bertambah kedewasaan.

Hari ini harus bertambah kenalan atau relasi baru, dan hari ini pula harus bertambah kebaikan. Jadi yang harus kita pikirkan sehari-hari adalah bagaimana kita meningkatkan kemampuan diri, baik itu ilmu, keterampilan atau pun amal kita. Semua itu harus terus-menerus kita programkan sebagai bagian dari persiapan menghadapi kondisi sesulit apapun. Kalau hari-hari yang kita lewati tidak disertai dengan bertambahnya kemampuan diri, maka lambat-laun kita akan digilas oleh cepatnya roda perubahan. Kesadaran seperti ini teramat penting untuk kita tanamkan, karena itulah kekayaan hakiki. Barangsiapa menginginkannya, maka berjuang meningkatkan kualitas diri adalah syarat pertama dan utama.

Andai kemampuan kita berada di atas masalah yang ada, maka kita akan lebih mudah dalam menghadapi permasalahan tersebut. Seperti halnya orang yang belajar terus menerus. Tatkala menghadapi ujian, kemampuannya akan berada di atas masalah. Ia akan gembira menghadapi ujian tersebut, menikmati tatkala ujian berlangsung, dan setelah ujian ia akan menikmati pujian dan nilai yang baik. Mengapa? Karena ia sudah sangat siap. Tidak demikian halnya dengan orang yang tidak pernah belajar dan mempersiapkan diri dengan baik. Ketika akan menghadapi ujian ia akan stress dan panik, saat menjalani ujian ia begitu menderita, begitu pun setelah ujian ia akan terhina dan terpuruk.

Sahabat, perubahan seharusnya menjadi wacana pemikiran kita setiap hari. Marilah kita renungkan bahwa aset dan kekayaan kita yang terbesar tidak identik dengan banyaknya uang. Aset kita yang sebenarnya adalah kemampuan kita yang terus berkembang. Ingatlah selalu pesan Rasulullah SAW bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari ini selalu lebih baik daripada hari kemarin. Wacana ini seharusnya mampu memotivasi kita untuk terus mencari ilmu. Saat waktu Dzuhur tiba bertanyalah kepada diri, ilmu dan keterampilan apa yang sudah saya dapatkan, pengalaman apa yang sudah saya peroleh, dan kebaikan apa yang sudah saya berikan kepada orang lain.

Begitupun tatkala kita memasuki waktu Ashar, Maghrib, atau Isya. Menjelang tidur bertanyalah kepada diri: peningkatan apa yang telah kita dapatkan hari ini, berapa banyak ilmu kita yang bertambah, pengalaman baru apa yang kita dapatkan hari ini. Teruslah bertanya dan mengevaluasi diri tentang seberapa jauh kita mampu meningkatkan kualitas diri. Bila program kita bagus, lalu pengembangan diri kita terencana, insya Allah hidup ini akan mampu kita jalani walaupun perubahan secepat apapun terjadi di sekitar kita. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Sakit Membawa Nikmat

Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS. Al-Baqarah: 155). Begitu banyak hal yang tidak kita inginkan tiba-tiba datang menimpa. Karena belum tahu ilmunya, semua itu sering menyebabkan tertekannya perasaan yang berujung pada penderitaan. Di antara hal yang biasa mendatangi kita adalah penyakit. Ya, saat-saat kita ditimpa sakit.

Adalah sesuatu yang lazim bila sebagian kita jatuh mengeluh tatkala sakit. Tubuh lunglai, wajah kuyu, dan pudar cahayanya. Padahal, semakin banyak kita mengeluh, maka akan semakin terasa pula sakitnya. Yang paling membahayakan adalah bila pikiran kita tidak terkuasai dengan baik. Biasanya menerawang jauh, realitas yang ada didramatisasi, segalanya dipersulit dan dikembangkan, hingga makin parah dan menegangkan.

Orang yang terkena gejala tumor misalnya, akan menjadi sengsara jika yang menjadi buah pikirannya adalah sesuatu yang lebih mengerikan dari kondisi sebenarnya. Ah, jangan-jangan tumor ganas. Bagaimana kalau merambat ke seluruh tubuh, sehingga harus dioperasi? Lalu, bagaimana kalau operasinya gagal? Belum lagi biayanya yang pasti akan sangat mahal. Bila hal ini terjadi, maka orang tersebut akan jauh lebih menderita daripada kenyataan sebenarnya. Hal ini terjadi karena kesalahan cara berpikir. Ia belum paham terhadap hikmah dari penyakit yang menimpanya, sehingga salah dalam menyikapinya.

Hasilnya jelas: rugi dunia akhirat. Sikap mental semacam ini tentu harus segera kita atasi. Memang benar badan kita harus sehat, karena hanya dengan badan sehatlah gerak hidup kita menjadi lancar. Kalau pun tubuh kita harus sakit, suatu saat nanti, maka hati kita harus tetap berfungsi dengan baik. Bagaimana cara menyiasatinya? Pertama, kita harus yakin bahwa hidup kita akan selalu dipergilirkan. Boleh jadi sekarang kita sehat, tapi esok hari kita sakit. Ini adalah sebuah keniscayaan. Allah SWT berfirman, Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS. Al-Baqarah: 155). Kedua, kita harus yakin bahwa segala yang ada dan yang terjadi di dunia ini ada dalam genggaman Allah SWT.

Kenyataan ini digambarkan dalam Alquran, Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia mengetahui keadaan yang kamu berada di dalamnya (sekarang) dan (mengetahui pula) hari (saat manusia) dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. An-Nuur: 64). Alam semesta berikut isinya benar-benar milik Allah SWT. Dialah yang menciptakan, mengatur, dan mengurusnya setiap saat. Sedangkan kita, jangankan membuat, menggambarnya saja sudah tidak mampu. Sekali lagi, semuanya ada dalam genggaman Allah SWT. Dan Allah SWT bisa berbuat apa saja yang Dia kehendaki, tanpa dapat dicegah, ditolak, dan dihalangi siapa pun.

Begitu pula kalau Dia menghendaki kita sakit. Itu adalah hal yang wajar, karena tubuh kita adalah milik Allah SWT. Kenapa kita harus kecewa dan protes? Ibarat seseorang menitipkan baju miliknya kepada kita. Kalau suatu saat diambil kembali, maka sangat tidak layak bila kita menahannya. Alangkah baiknya bila kita memilih ridha saja dalam menerima semua yang terjadi. Segala kekecewaan, penyesalan, dan keluh-kesah, sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah. Tugas kita adalah ridha akan ketentuan-Nya dan berikhtiar seoptimal mungkin untuk berobat. Ketiga, kita harus yakin bahwa Allah itu sangat adil dan bijaksana dalam menentukan sesuatu hal bagi makhluk-Nya. Allah SWT Mahatahu akan keadaan tubuh kita. Semua yang ditimpakan kepada kita sudah diukur dengan sangat sempurna dan mustahil "over dosis".

Dalam Alquran disebutkan, Allah SWT tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapatkan pahala dari kebaikan yang diusahakannya dan mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya (QS. Al-Baqarah: 286). Karena itu, sangat tidak tepat bila kita membebani pikiran dengan mendramatisasi masalah apalagi sampai berburuk sangka kepada Allah SWT. Tentu, akan lebih baik bila kita kerahkan segala potensi yang ada untuk meraih hikmah di balik semua kejadian. Sahabat, bila kita telah memahami hikmahnya, maka sakit adalah sebuah takdir yang sangat menguntungkan karena akan menggugurkan dosa-dosa kita. Bukankah kita selalu merindukan ampunan-Nya? Inilah salah satu bentuk pengabulan doa-doa kita tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, "Ketika seseorang ditimpa penderitaan (sakit), maka Allah mengutus dua malaikat kepadanya. Dia berfirman, 'Dengarkanlah apa kata hamba-Ku ketika ditengok orang-orang'. Jika ia mengucapkan alhamdulillah, maka Allah berfirman kepada dua malaikat tersebut, 'Sampaikanlah kepadanya, jika Aku mematikannya karena penyakitnya, maka ia pasti masuk syurga; dan jika Aku sembuhkan, maka pasti daging dan darahnya akan Aku ganti dengan yang lebih baik dari asalnya, serta Aku jadikan penderitaan (penyakitnya) sebagai penebus dosa-dosanya" (HR. Al-Faqih). Hikmah lainnya, sakit bisa dijadikan sebagai sarana bertafakur. Betapa tidak? Dengan sakit, kita dapat terhindar dari kemaksiatan yang mungkin akan kita lakukan dalam keadaan sehat.

Kita menjadi insyaf akan betapa penting dan mahalnya harga kesehatan yang seringkali kita sia-siakan ketika sehat. Selain itu, sakit pun bisa menjadi jalan rezeki bagi para dokter dan petugas kesehatan, sekaligus menjadi ladang amal bagi mereka bila ikhlas. Sedangkan bagi kita, berobat akan menjadi ladang pahala ikhtiar. Soal sembuh tidaknya, serahkanlah pada Allah semata. Insya Allah, pahala ikhtiar akan kita dapatkan sepanjang ikhtiar yang kita lakukan sesuai dengan ketentuan-Nya. Semoga Allah senantiasa menjaga, melindungi, serta memelihara kita dari prasangka buruk terhadap segala ketentuan-Nya. Semoga pula kita diberi kekuatan untuk mampu menikmati semua ketentuan yang Dia tetapkan pada kita. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH. Abdullah Gymnastiar

Sumpah dan Amanah

"Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah ia mengkhianatinya" (HR. Bukhari dan Muslim). Entah kenapa setiap mendengar kata "Demi Allah', jiwa ini selalu bergetar.

Tidak mengherankan, karena sumpah adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan, apalagi garansinya dikaitkan dengan nama Allah Yang Mahaagung. Sayangnya, kita masih melihat orang yang begitu mudah mengucapkan sumpah, dan begitu mudah pula mengkhianatinya. Demikian pula yang terjadi di negara kita, seorang pejabat terlihat begitu mudah melakukan penyelewengan padahal sebelum diamanahi suatu tugas ia disumpah terlebih dulu. Sebuah sumpah bisa mengandung banyak konsekuensi. Karena itu, kegigihan untuk memenuhi janji adalah sebuah kehormatan.

Sebaliknya kegagalan memenuhi janji dengan disengaja tentunya menunjukkan tanda kemunafikan kita. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati di dalam berjanji dan bersumpah. Sumpah yang tergolong berat adalah sumpah jabatan. Kita sering mendengar bagaimana para pejabat disumpah untuk tidak menerima apapun yang tidak sah berkaitan dengan jabatannya. Bila ia tidak serius mengamalkan sumpahnya tersebut, maka ia dikategorikan seorang pengkhianat. Hal lain adalah sumpah yang sering diucapkan tatkala pernikahan. Karena itu, berjuanglah sekuat tenaga untuk menjaga kualitas akad kita tersebut.

Begitu pula dengan iklan. Sumpah yang diucapkan bisa dikategorikan palsu tatkala apa yang didengungkan tidak sesuai dengan kualitas produk sebenarnya. Bila kita menjadi pelakunya, kita sesungguhnya telah menipu pembeli dan sekali-kali untung yang diperoleh tidak akan berkah. Saudaraku, alangkah baiknya apabila kita tidak mudah mengobral sumpah dan janji, karena semua itu harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dalam sebuah Hadisnya Rasulullah SAW mengungkapkan tiga ciri orang munafik. Pertama, bila berbicara selalu dusta. Kedua, kalau berjanji selalu mengingkari. Dan ketiga, kalau diberi amanat ia khianat.

Kalau kita ingin tahu siapa diri kita, caranya mudah sekali! Berapa banyak dusta yang keluar dari mulut kita, berapa banyak tipu muslihat yang keluar dari mulut kita. Hati-hati saudaraku jangan sampai kita menjadi seorang pendusta. Berkaitan dengan ciri kemunafikan yang pertama. Kita harus berhati-hati terhadap dusta termasuk yang kecil sekalipun. Jangan sampai untuk bergurau saja kita berdusta, untuk menceritakan film saja kita berdusta agar terlihat lebih seru. Atau sedang ceramah, supaya kita terihat lebih pandai. ''Di dalam kita anu disebutkan...'' Padahal kita tidak tahu isi kitab tersebut. Saudaraku hindarilah dusta sekecil apapun, walau hanya pada anak kecil.

Jagalah diri kita dari sikap munafik. Karena sekali saja orang mengetahui kita berdusta, akan sangat sulit sekali untuk mengembalikan kepercayaan dan citra diri kita. Kedua berkaitan dengan janji. Bertanyalah selalu pada diri sebelum berjanji. Sanggupkah saya memenuhi janji ini? Siapkah saya menanggung konsekuensi dari janji yang diucapkan? Kita harus berhati-hati kala berjanji. Manakala sedang berhutang dan belum sanggup membayar, ungkapkanlah keadaan kita yang sebenarnya dan siap menaggungung risiko.

Jangan sampai kita berjanji dan terus berjanji tanpa bisa melunasi. Begitu pula saat kita dilanda asmara. Biasanya, orang yang sedang dilanda asmara sering mengobral janji. Sahabat, walaupun diungkapkan dengan nada bergurau, janji tetaplah janji. Kita harus berusaha menepatinya walaupun kita harus mengorbankan banyak hal. Teladanilah Rasulullah SAW. Beliau pernah menunggu orang hingga tiga hari lamanya hanya untuk menepati sebuah janji. Ciri orang munafik yang ketiga adalah khianat tatkala diberi amanat.

Amanat di sini cakupannya sangat luas. Anak adalah amanat bagi orang tua. Istri adalah amanat bagi suami. Begitu pula dengan ilmu, kekayaan, maupun jabatan dan kekuasaan. Semuanya adalah amanat yang harus dijaga dan ditunaikan dengan baik. Suatu kali seseorang pernah menasihati saya, "Aa, jangan sampai tergiur oleh kekuasaan, karena kekuasaan itu manis sekali rasanya tapi menghancurkan. Kalau orang sudah duduk dalam singgasana kekuasaan, ia akan 'susah' turun karena empuknya kursi kekuasaan itu. Bagaimana tidak, ia dilayani dan dihormati secara duniawi. Karena itu, tidak semua orang bisa keluar dari lingkaran kekuasaan".

Kekuasaan yang tidak terkendali biasanya akan berujung pada terbukanya aib diri. Betapa banyak orang yang sebelum berkuasa namanya dikenal baik, tapi setelah berkuasa ia dikutuk banyak orang karena tidak amanat. Saudaraku, hati-hatilah dengan yang namanya amanat kekuasaan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang buruk. Yang buruk adalah tipu daya kekuasaan yang akan membuat orang terlena dan menjadi tidak amanat. Inilah yang membuat orang mengutuk dan mencaci seorang penguasa. Walaupun demikian, banyak orang yang derajatnya semakin baik setelah ia berkuasa.

Lihatlah bagaimana para khalifah pengganti Rasulullah SAW dan juga Umar bin Abdul Aziz. Walau mereka berkuasa hanya sebentar, tapi namanya tetap harum hingga sekarang. Apa kuncinya? Mereka mengemban kekuasaan dengan sikap amanat. Sayangnya, sekarang timbul kecenderungan semakin lama seseorang berkuasa, maka ia akan semakin dikutuk dan dibenci. Karena itu, bila kita mendapatkan sebuah jabatan dalam level apapun kita jangan berbangga hati dulu, karena jabatan bisa menghinakan. Kita layak berbangga bahkan sujud syukur tatkala kita mampu menjalankan kekuasaan dengan amanat. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: Abdullah Gymnastiar

Membangun Masa Depan

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran. (QS. Al-'Ashr: 1-3). Kita sepakat bahwa orang yang paling rugi di dunia ini adalah orang yang diberikan modal, tapi ia hamburkan modal itu sia-sia. Modal kita dalam hidup adalah waktu.

Sering kita tidak menyadari betapa berharganya jatah waktu yang kita miliki. Kita sering menghabiskan waktu produktif hanya untuk mencari pensil. Kita sering menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengumbar ketidaksukaan kita, untuk memendam kedengkian atau kemarahan kita. Padahal, waktu berlanjut terus dan kita tidak tahu kapan hidup ini berakhir.

Oleh karena itu, Mahasuci Allah yang Mengungkapkan dalam QS. Al-'Asher bahwa kerugian manusia itu dapat diukur dari sikapnya terhadap waktu. Kalau ia sudah berani menghamburkan waktunya, maka ia tergolong orang yang sudah menyia-nyiakan kehidupannya.

Secara umum waktu terbagi tiga. Pertama, masa lalu. Ia sudah lewat. Kita sudah tidak berdaya dengan masa lalu. Tapi banyak orang sengsara hari ini gara-gara masa lalunya yang memalukan. Karena itu, kita harus selalu waspada jangan sampai masa lalu merusak hari kita. Kedua, masa depan. Kita pun sering panik menghadapi masa depan. Tanah kian mahal, pekerjaan semakin sulit didapat, takut tidak mendapat jodoh, dan lainnya. Masa lalu dan masa depan kuncinya adalah hari ini. Inilah bentuk waktu yang ketiga. Seburuk apapun kita di masa lalu, kalau hari ini kita benar-benar bertaubat dan memperbaiki diri, insya Allah semua keburukan itu akan terhapuskan.

Sayangnya, kita banyak merusak hari ini dengan masa lalu. Dulu gelap sekarang putus asa, sehingga kita tidak mendapat apapun. Dulu berlumur utang, sekarang tidak bangkit, tentu utang tidak kan terlunasi. Masa lalu kita bisa berubah drastis dengan masa kini. Begitu pun dengan masa datang. Sungguh heran melihat orang yang punya cita-cita tapi tidak melakukan apapun pada hari ini. Padahal hari ini adalah saat kita menanam benih, dan masa depan adalah waktu untuk memanen. Maka mana mungkin kita bisa memanen bila kita malas menanam benih. Karena itu, siapa pun yang ingin tahu masa depannya, maka lihatlah apa yang dilakukannya sekarang.

Maka sehebat apapun cita-cita di masa depan, taruhannya adalah masa kini. Pada saat sekarang kita duduk santai, tidak mau bekerja, dan pada saat yang sama orang lain bekerja keras, menempa diri, menimba ilmu, mengasah diri, dan memperkuat ibadahnya. Maka, suatu saat nanti akan bertemu rezeki yang harus diperebutkan oleh dua orang. Yang satu dengan ilmu. Yang satu dengan pengalaman. Yang satu dengan wawasan. Dan yang satu lagi dengan kebodohan. Siapakah yang akan mendapatkan rezeki tersebut?

Saudaraku, kita harus mulai menghitung apapun yang kita lakukan. Ucapan kita sekarang adalah bekal kita. Kita bisa terpuruk besok lusa hanya dengan satu patah kata. Kita pun bisa menuai kemuliaan dengan kata-kata. Uang yang kita dapatkan sekarang adalah tabungan masa depan. Bila kita dapatkan dengan cara tidak halal, niscaya aibnya tidak akan tertukar.

Karena itu, terlalu bodoh andai kita mau melakukan sesuatu yang sia-sia. Detik demi detik harus kita tanam sebaik mungkin, karena inilah bibit yang buahnya akan kita petik di masa depan. Kalau kita terbiasa berhati-hati dalam berbicara, dalam bersikap, dalam mengambil keputusan, dalam menjaga pikiran, dalam menjaga hati, maka kapan pun malaikat maut menjemput, kita akan selalu siap. Tapi kalau kita biarkan bicara sepuasnya, berpikir sebebasnya, tak usah heran bila saat kematian kita menjadi saat yang paling menakutkan.

Ada tiga hal yang dapat kita lakukan agar masa depan kita cerah. Pertama, pastikanlah hari-hari yang kita jalani menjadi sarana penambah keyakinan pada Allah. Kita tidak akan pernah tenteram dalam hidup kecuali dengan keyakinan yang kuat pada Allah SWT. Pupuk dari keyakinan adalah ilmu. Orang-orang yang tidak suka menuntut ilmu, maka imannya tidak akan bertambah. Bila iman tidak bertambah, maka hidup pun akan mudah goyah.

Kedua, tiada hari berlalu kecuali jadi amal. Di mana pun kita berada lakukankanlah yang terbaik. Segala sesuatu harus menjadi amal. Dilihat atau tidak, kita jalan terus. Karena rezeki kita adalah apa-apa yang bisa kita lakukan. Ketiga, orang yang beruntung adalah orang yang setiap hari terus melatih diri untuk menjadi pemberi nasihat dalam kebenaran dan kesabaran, dan yang setiap harinya melatih diri untuk menerima nasihat dalam kebenaran dan kesabaran. Ia mampu memberi nasihat, karena ia senang diberi nasihat. Orang yang gagal memberi nasihat, awalnya karena ia gagal menerima nasihat dalam kebenaran dan kesabaran. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Karunia Hidayah

Setiap orang hanya akan menjaga sesuatu yang dianggapnya berharga dan membuang sesuatu yang dianggapnya tidak berharga. Semakin bernilai dan semakin berharga suatu benda, maka akan lebih habis-habisan pula dijaganya. Bagi seorang Muslim, hidayah dari Allah adalah harta termahal.

Ada seorang wanita yang belum lama masuk Islam (muallaf). Ternyata, keluarganya tidak bisa menerima kenyataan ini. Ibunya pun mengusirnya dari rumah. Kejadian itu terjadi menjelang pukul lima sore. Telepon berdering, suara di ujung telepon bicara dengan terbata-bata, "Aa, Aa tolong A, tolong!." Belum selesai bicara hubungan telepon terputus. Dari nadanya kelihatan darurat, sehingga jelas-jelas si penelpon sedang dalam kondisi membutuhkan bantuan. Sayangnya tidak diketahui di mana ia menelponnya? Keadaannya bagaimana?

Usai hubungan telepon terputus, saya berpikir apa yang bisa dilakukan? Karena yang terbayang di benak saat itu adalah justru si anak sedang dianiaya, teleponnya direbut atau kabelnya diputuskan. Terbayang pula andai si anak ini dipaksa kembali ke agama semula oleh orang tuanya. Tapi sejenak kemudian ingat pula akan Kemahakuasaan Allah bahwa hanya dengan karunia-Nya saja hidayah bisa sampai kepada anak itu.

Bila Allah Yang Mahakuasa telah menghunjamkan dalam-dalam hidayah itu di kalbu, maka tak seorang pun mampu mencerabut hidayah dari diri seseorang. Kita lihat Bilal bin Rabbah, sahabat Rasulullah SAW yang mulia. Ia dijemur di bawah terik matahari, di bawahnya beralas pasir membara, badan pun dihimpit batu yang berat, tapi bibirnya yang mulia tetap mengucapkan, "Ahad, Ahad, Ahad".

Begitu pun dengan si anak dalam kejadian ini, setelah teleponnya diputus oleh ibunya, ternyata benar ia dianiaya, dijambak, dan dirobek-robek jilbabnya. Hanya kemudian dengan izin Allah, dia dapat kembali menutup auratnya dan dengan hati pilu si anak pun ikut bersama bibinya. Hanya Allah-lah yang melepaskan dari setiap kesempitan. Allah SWT berfirman, Dan orang yang dipimpin Allah, maka tiadalah orang yang akan menyesatkannya (QS. Az-Zumar: 37). Dan siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menujukinya (QS. Ar Ra'du: 33).

Saudaraku, setiap orang hanya akan menjaga sesuatu yang dianggapnya berharga dan membuang sesuatu yang dianggapnya tidak berharga. Semakin bernilai dan semakin berharga suatu benda, maka akan lebih habis-habisan pula dijaganya. Ada yang sibuk menjaga hartanya karena dia menganggap harta itu yang paling bernilai. Ada yang sibuk menjaga wajahnya agar awet muda, karena awet muda itulah yang dianggapnya paling bernilai. Ada juga yang mati-matian menjaga kedudukan dan jabatannya, karena kedudukan dan jabatan itulah yang dianggap membuatnya berharga.

Tapi ada pula orang yang mati-matian menjaga hidayah dan taufik dari Allah SWT karena dia yakin bahwa hidup tidak akan selamat mencapai akhirat kecuali dengan hidayah dan taufik dari-Nya. Inilah sebenarnya harta benda paling mahal yang perlu kita jaga mati-matian. Nikmat iman yang bersemayam di dalam kalbu nilainya melampaui apapun yang ada di dunia ini.

Karena itu, sudah sepantasnya dalam mencari apapun di dunia ini, kita tetap dalam rambu-rambu supaya hidayah itu tidak hilang. Misal, ketika mencari uang untuk nafkah keluarga, kita sibuk dengan berkuah peluh bermandi keringat mencarinya, tapi tetap berupaya agar dalam mencari uang tersebut, hidayah dan taufik tidak sampai sirna.

Begitu pula ketika menuntut ilmu, kita kejar ilmu setinggi-tingginya tetapi tetap dalam rambu-rambu Allah agar hidayah tidak sampai sirna. Bahkan, mencari nafkah, mencari ilmu, atau mencari dunia bisa lebih mendekatkan dengan hidayah dari Allah SWT.

Ada sebuah doa yang Allah SWT ajarkan kepada kita melalui firman-Nya, Ya Tuhan kami, jangan jadikan hati ini condong kepada kesesatan sesudah engkau beri petunjuk, dan karuniakan kepada kami rahmat dari sisimu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Karunia (QS. Ali Imran: 8).

Demikianlah Allah Azza wa Jalla, Dzat Maha Pemberi karunia hidayah, mengajarkan kepada kita agar senantiasa bermohon kepada-Nya sehingga selalu tertuntun dengan cahaya hidayah dari-Nya. Betapa tidak, hidayah adalah karunia terindah yang diberikan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.

Imam Ibnu Athoillah dalam kitab Al-Hikam mengungkapkan, "Nur (cahaya-cahaya) iman, keyakinan, dan zikir adalah kendaraan yang dapat mengantarkan hati manusia ke hadirat Allah serta menerima segala rahasia daripada-Nya. Nur (cahaya terang) itu sebagai tentara yang membantu hati, sebagaimana gelap itu tentara yang membantu hawa nafsu. Maka apabila Allah akan menolong seorang hamba-Nya, dibantu dengan tentara nur Illahi dan dihentikan bantuan kegelapan dan kepalsuan".

Nur cahaya terang berupa tauhid, iman, dan keyakinan itu berfungsi sebagai tentara pembela pembantu hati. Sebaliknya kegelapan, syirik, dan ragu itu sebagai tentara pembantu hawa nafsu. Di antara keduanya selalu terjadi peperangan yang tak kunjung berhenti, dan selalu menang dan kalah.

Lebih lanjut beliau berujar, "Nur itulah yang menerangi (membuka) dan bashirah (mata hati) itulah yang menentukan hukum, dan hati yang melaksanakan atau meninggalkan nur itulah yang menerangi baik dan buruk. Lalu dengan mata hatinya ditetapkan hukum, dan setelah itu maka mata hatinya yang melaksanakan atau menggagalkannya".

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan kepada kita penuntun yang membawa cahaya hidayah sehingga menjadi terang jalan hidup kita. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Mneladani As Shamad, Bergantung Sepenuhnya Pada Allah

Katakan, Allah itu Esa. Allah itu tempat bergantung. Tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan, tidak seorang pun yang serupa dengan-Nya (QS Al-Ikhlas: 1-4).

Semoga Allah mengaruniakan kemampuan pada kita untuk merasa cukup bergantung kepada-Nya. Dia-lah pelabuhan hati yang kasih sayang dan kehadiran-Nya akan selalu kita dambakan.

Salah satu nama Allah dalam Asma'ul Husna adalah As Shamad. Kata ini sering kita dengar dalam QS Al-Ikhlas, dan memang kata As Shamad hanya disebut satu kali dalam Alquran. As Shamad dapat diartikan sebagai Allah Yang Maha Dibutuhkan. Terambil dari huruf shad, mim, dan dal. Maknanya berkisah pada dua hal, yaitu "tujuan" dan "pejal atau padat". Seperti sebuah "talenan" atau "dampalan" yang tak memiliki rongga dan celah sedikit pun. Demikian padatnya, sampai-sampai permukaannya demikian halus, tidak ada yang bisa menempel di sana, bahkan debu dan air sekalipun.

Kalau kita yakin terhadap Allah As Shamad, maka kita harus bergantung sepenuhnya pada Allah. Tidak ada rongga atau celah sedikit pun bagi kita untuk meminta kepada selain Allah. Betapa tidak, Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui semua kebutuhan kita. Tidak ada celah sedikit pun selain Allah yang bisa menolong kita. Tidak ada sesuatu pun yang masuk dan keluar dari Dzat Allah. Dia tidak beranak, tidak pula diperanakkan. Dan, tidak seorang pun yang serupa dengan-Nya. Allah adalah Dzat Maha Sempurna yang Menguasai segala-galanya.

Karena itu, bergantung pada selain Allah adalah bencana. Sudah pasti, semua yang ada selain Allah adalah makhluk; sesuatu yang diciptakan. Makhluk itu sangat lemah dan tidak memiliki daya serta kekuatan selian dari yang diberikan Allah.

Ibnu Abbas RA menyatakan bahwa As Shamad, kalau Dia seorang tokoh, maka Dialah tokoh yang paling sempurna ketokohan-Nya. Yang mulia, dan mencapai puncak kemulian-Nya. Yang agung, dan paling sempurna keagungan-Nya. Yang penyantun, dan tidak ada satupun yang melebihi sifat penyantun-Nya. Yang kaya, dan tidak ada yang mampu melebihi kekayaan-Nya. Yang Mahaperkasa, dan tidak ada yang dapat melebihi keperkasaan-Nya. Yang mengetahui, dan maha sempurna pengetahuan-Nya; tidak luput sedikit pun dari pengetahuan-Nya. Yang bijaksana, dan tidak ada satu titik pun cacat dari semua tindak tanduk dan kebijaksanaan-Nya. Dan, semua itu hanya ada pada Allah, Dzat Yang paling tinggi. Dialah puncak yang tidak ada yang menandingi ketinggian-Nya.

Hikmah apa yang dapat kita ambil dari Allah sebagai As Shamad? Kalau pun kita harus berharap kepada makhluk, maka harapan itu hanya sebatas lisan saja. Hati sepenuhnya berharap dan bergantung pada Allah semata. Mati-matian kita berharap pada makhluk, kalau Allah tidak mengizinkan, maka tidak akan pernah terjadi. Kita akan lelah dalam hidup kalau kita berharap dan menggantungkan diri pada makhluk. Sebab, orang yang kita gantungi sekali-kali tidak dapat menolong dirinya sendiri.

Karena itu, kita harus melatih diri untuk tidak bergantung pada makhluk, termasuk pada jabatan, harta, pasangan hidup, dan pertolongan manusia. Kita pun harus mulai melatih anak-anak kita agar tidak terlalu bergantung kepada orang tua. Kita pun jangan terlalu bergantung pada tabungan, tak ada angka pasti dari tabungan yang bisa menjamin hidup kita. Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maulaa wa ni'mal wakiil. Cukuplah Allah sebagai tempat bergantung. Semua harapan dalam hidup harus berada dalam wadah pengharapan pada Allah.

Pengharapan total pada Allah adalah amalan batin. Fisik dan pikiran memiliki kewajiban lain. Kita harus proporsional dalam bertindak, jangan sampai "serba untuk dan pada Allah," tapi kewajiban lain tidak disempurnakan ikhtiarnya. Intinya, keyakinan hati seratus persen dan ikhtiar pun seratus persen. Insya Allah kita akan mendapatkan hasil maksimal dalam hidup. Walau demikian, Allah berjanji, "Aku adalah sesuai prasangka hamba-Ku". Karena itu, semakin kita yakin pada Allah, maka Allah pun akan semakin membukakan pertolongan-Nya. Inilah keajaiban sebuah keyakinan.

Hikmah lainnya dari As Shamad ini, kita "kalau bisa" harus menjadi tumpuan dan harapan orang lain. Di keluarga, kita dapat menjadi tumpuan anak istri juga saudara-saudara. Karena Allah akan menolong orang yang gemar menolong dan meringankan beban orang lain. "Barang siapa memudahkan urusan orang lain, maka Allah pun akan memudahkan urusannya dunia akhirat," ungkap Rasulullah SAW.

Karena itu, tidak salah apabila kita mencita-citakan diri menjadi jalan pertolongan dan bantuan bagi orang lain. Semoga bila kita berlaku demikian, pada satu sisi kita yakin kepada Allah dan pada sisi lainnya kita ditolong oleh Allah. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Menjadi Manusia Kreatif

Hati yang jernih akan melahirkan firasat dan ide-ide cemerlang yang akan menjadi nilai tambah dalam kehidupan seorang Muslim. Semoga Allah Yang Mahaagung mengaruniakan kemampuan kepada kita untuk mengisi hari-hari Ramadhan ini dengan cara terbaik, sehingga selepas Ramadhan kita memiliki kemampuan untuk menjalani hidup dengan kualitas terbaik pula.

Saudaraku, setiap hari usia kita bertambah; setiap hari terjadi perubahan, dan setiap hari pula masalah semakin bertambah, kompleks, dan semakin rumit. Karena itu, bila kemampuan kita tidak bertambah, maka cepat atau lambat masalah akan membinasakan dan menghancurkan kita.

Ada satu kemampuan yang harus selalu kita tingkatkan agar hidup kita semakin berkualitas. Itulah kreativitas. Kreativitas adalah daya cipta dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Biasanya, kreativitas akan memunculkan inovasi, yaitu kemampuan untuk memperbaharui hal-hal yang telah ada. Bila kreativitas itu daya atau kemampuan, maka inovasi itu hasil atau produk.

Kreativitas begitu penting dalam hidup manusia. Mengapa? Tanpa kreativitas kita akan larut dan tergilas roda perubahan. Tanpa kreativitas kita tidak akan mampu bertahan menghadapi perubahan yang semakin cepat. Perusahaan-perusahaan besar yang mampu bertahan, biasanya memiliki tradisi untuk mengembangkan budaya kreatif yang kemudian menghasilkan produk-produk yang inovatif.

Bagaimana caranya agar kita mampu menjadi orang yang kreatif. Ada lima cara. Pertama, memiliki rasa ingin tahu yang besar. Orang yang kreatif adalah orang yang gemar mencari informasi, gemar mengumpulkan input, dan cinta ilmu. Tiada berlalu waktu-waktunya, kecuali bertambah dengan input-input yang baru dan segar. Karena itu, kita harus selalu bertanya, sejauh mana kecintaan kita terhadap informasi dan ilmu.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan input tersebut. Antara lain melalui buku, sikap meneliti, menyimak, melihat tayangan televisi yang bermanfaat, berdiskusi, merenung, mendengar, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya.

Kedua, terbuka pada hal-hal yang baru. Setiap saat selalu terjadi perubahan. Karena itu, alangkah ruginya orang yang tidak mau berubah dengan menyukai hal-hal baru. Itu sama artinya dengan berjalan mundur, tatkala orang lain bergegas dan berlari. Orang yang kreatif adalah orang yang tidak terbelenggu dengan pendapatnya sendiri.

Tentu, terbuka dengan hal-hal baru tidak harus menjadikan kita mengikuti hal-hal baru tersebut. Kita bisa mengolahnya, menyaring hal-hal yang baik, dan menyesuaikan dengan nilai-nilai yang kita anut. Orang yang kreatif bisa dilihat dari kebiasaannya sehari-hari tatkala pergi ke kantor. Usahakan kita jangan melewati jalur yang sama, sekali-kali cari jalan lain. Biasanya kita pun akan mendapatkan ide-ide atau sesuatu yang baru pula.

Ketiga, berani memikul risiko. Semua tindakan kreatif biasanya akan mengundang risiko. Adalah mimpi melakukan sesuatu yang baru tanpa adanya risiko. Rasulullah SAW adalah orang yang kreatif dengan membawa ajaran baru (Islam) ke tengah-tengah umatnya. Konsekuensinya, beliau dimusuhi dan diperangi. Demikian pula dengan Thomas Alfa Edison. Ia adalah orang kreatif yang berani gagal beribu-ribu kali sebelum menemukan bola lampu. Untuk menjadi kreatif, kita harus berani menanggung risiko, keluar dari zona nyaman.

Keempat, memiliki semangat yang membara untuk sukses dalam hidup. Tanpa semangat, mustahil kita akan mendapat banyak hal dalam hidup. Semangat biasanya akan melipatgandakan kemampuan seseorang untuk berprestasi. Orang yang kreatif, hari-harinya akan selalu bersemangat untuk berproses dalam menggapai semua hal yang diinginkannya. Kita harus bertanya, bersemangatkah kita dalam hidup? Apakah kita ini seorang yang bermental lemah dan selalu kalah dalam memperjuangkan cita-cita? Kita sendiri yang bisa menjawabnya.

Kelima, nilai kreativitas akan semakin lengkap dengan hati yang jernih sebagai buah dari ibadah yang berkualitas. Biasanya, kejernihan hati akan melahirkan firasat dan ide-ide cemerlang yang akan menjadi nilai tambah dalam kehidupan seorang Muslim. Bahkan, karya-karya monumental biasanya berawal dari kejernihan hati dan ketajaman pikiran. Perlu ditekankan bahwa firasat dan ide akan lebih abadi bila kita segera menuliskan dan merealisasikannya dalam tindakan nyata. Biasanya ide yang cemerlang akan mati begitu saja bila tidak diamalkan. Sebaliknya, sebuah ide akan meningkatkan kualitas diri tatkala ia dipraktikkan dalam kehidupan.

Semoga Allah Yang Mahaagung, memberi kemampuan pada kita untuk menjadi seorang yang kreatif dalam hidup; kreatif yang positif; kreatif yang lahir dari kejernihan batin sebagai buah dari ibadah yang berkualitas. Karena itu, marilah kita menjadikan Ramadhan tahun ini sebagai titik balik perbaikan diri dengan menjadi hamba-hamba yang kreatif. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Meneladani Allah Sebagai Dzat Penerima Syukur

Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba-hamba yang pandai mensyukuri segala nikmat yang telah Allah curahkan. Semoga pula Allah memampukan kita untuk dapat mensyukuri semua nikmat tersebut dengan cara terbaik.

As Syakur adalah satu dari 99 nama Allah yang terdapat dalam Asma'ul Husna. Nama Allah, As Syakur, terambil dari kata syakara yang berarti "pujian atas kebaikan" serta "penuhnya sesuatu". Keterangan lain menyebutkan bahwa tumbuh-tumbuhan yang berhasil tumbuh walau dengan sedikit air, atau binatang yang gemuk walau dengan sedikit rumput, dalam bahasa Arab disebut syakur.

Dari penggunaan istilah ini, maka kata syakur yang menjadi nama dan sifat Allah berarti, "Dia mengembangkan atau memperbanyak imbalan yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, meskipun amalannya sedikit". Karena itu, tidak mengherankan bila Allah SWT selalu melipatgandakan amalan-amalan yang dilakukan hamba-Nya.

Dalam QS Al Baqarah ayat 261 diungkapkan, Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dr Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata syukur biasa dipertentangkan dengan kata kufur. Dalam QS Ibrahim ayat 7 disebutkan, ''Kalau kamu bersyukur pasti akan Aku tambah untukmu (nikmat-Ku) dan kalau kamu kufur, sesungguhnya siksa-Ku amat pedih''. Penempatan kata syukur yang dipertentangkan dengan kata kufur disebabkan karena keduanya mengandung makna berlawanan. Syukur berarti menampakkan sesuatu ke permukaan, sedangkan kufur berarti menutupinya.

Apa makna dari Al Syakur ini? Lewat nama-Nya ini, Allah SWT memperlihatkan sifat-Nya yang tidak "egois". Allah SWT akan memberikan apresiasi tertinggi terhadap semua yang dilakukan hamba-Nya dengan "penghargaan" dan derajat kemuliaan, walau dalam pandangan manusia amalan tersebut sangat tidak berarti. Dalam Alquran disebutkan, Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula (QS Al Zalzalah: 7). Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak akan sedikit pun berbuat aniaya terhadap kebaikan orang Mukmin, penghargaan-Nya diberikan sewaktu ia di dunia dan di akhirat kelak pun ia akan mendapatkannya" (HR Ahmad).

Melihat demikian tingginya apresiasi yang diberikan Allah SWT kepada setiap kebaikan hamba-Nya, seharusnya membuat kita tertantang untuk melakukan yang terbaik untuk Allah, sekaligus menghargai apapun yang Ia berikan kepada kita. Dengan kata lain, kita harus menjadi hamba yang bersyukur.

Bagaimana caranya? Pertama, meyakini bahwa segala sesuatu hanyalah milik Allah SWT atau tidak merasa dimiliki dan memiliki kecuali oleh Allah semata. Lewat keyakinan ini, kekayaan duniawi yang melimpah tidak akan membuat kita sombong dan takabur; sedang tiadanya tidak akan menjadikan minder dan nelangsa. Intinya, apa yang kita punya sekarang hanya sekadar titipan yang suatu saat akan diambil oleh pemiliknya. Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi (QS Al Baqarah: 284).

Kedua, selalu memuji Allah SWT dalam segala kondisi. Alangkah baiknya apabila lidah kita selalu basah dengan memuji Allah karena demikian banyaknya nikmat yang tercurah, baik dalam keadaan senang atau susah. Andai kita teliti, musibah yang kita dapatkan jauh lebih sedikit daripada nikmat yang Allah berikan. Tidak salah bila dikatakan bahwa kita "dicelupkan" Allah ke dalam samudera nikmat yang tiada bertepi. Tak sedetik pun Allah melepaskan karunianya pada kita. Maka sangat wajar apabila ucapan hamdallah, tahmid, takbir, dan istighfar selalu ke luar dari mulut kita.

Ketiga, manfaatkan nikmat yang ada sebagai sarana taqarub pada Allah. Bagi seorang ahli syukur, kegembiraannya tidak lagi terletak pada pesona indahnya dunia, tapi terletak pada manfaat dunia tersebut untuk mendekatkan dirinya pada Allah. Baginya, dunia adalah kendaraan menuju Allah SWT.

Keempat, berterima kasih kepada orang-orang yang menjadi jalan nikmat dan kebaikan bagi kita. Tahu berterima kasih (balas budi) adalah salah satu ciri ahli syukur. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa telah berbuat kebaikan kepada kalian, maka hendaklah kalian membalasnya, jika kalian tidak mampu membalasnya, maka berdolah baginya, hingga kalian tahu bahwa kalian telah bersyukur. Sebab Allah adalah Dzat yang Mahatahu berterimakasih dan sangat cinta kepada orang-orang yang bersyukur" (HR Thabrani). Dalam hadis lain disebutkan, "Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak tahu berterima kasih kepada sesama manusia" (HR Ahmad).

Mulai sekarang ingat-ingatlah selalu kebaikan orang-orang yang menjadi jalan kesuksesan, menjadi jalan ilmu, dan jalan kebaikan bagi kita. Maksimalkan berbuat baik kepada mereka. Seandainya mereka telah tiada, jagalah hubungan baik dengan ahli warisnya, juga sahabat-sahabatnya, dan doakanlah mereka dalam ibadah-ibadah kita. Insya Allah dengan menjadi hamba yang pandai bersyukur, Allah akan membukakan pintu-pintu kebaikan bagi kita. Amin.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Rahasia Silahturahmi

"Tahukah kalian tentang sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan ataupun keburukan? 'Sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan,' sabda Rasulullah SAW, 'adalah balasan (pahala) orang yang berbuat kebaikan dan menghubungkan tali silaturahmi, sedangkan yang paling cepat mendatangkan keburukan ialah balasan (siksaaan) bagi orang yang berbuat jahat dan yang memutuskan tali persaudaraan" (HR Ibnu Majah).

Silaturahmi tidak sekadar bersentuhan tangan atau memohon maaf belaka. Ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati. Hal ini sesuai dengan asal kata silaturahmi itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang.

Makna menyambungkan menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. Menghimpun biasanya mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan, menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Yang disebut bersilaturahmi itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahmi itu ialah menyambungkan apa yang telah putus" (HR Bukhari).

Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa silaturahmi tidak hanya merekayasa gerak-gerik tubuh, namun harus melibatkan pula aspek hati. Dengan kombinasi bahasa tubuh dan bahasa hati, kita akan mempunyai kekuatan untuk bisa berbuat lebih baik dan lebih bermutu daripada yang dilakukan orang lain pada kita.

Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang kuat. Namun, bila ada orang yang tidak pernah bersilaturahmi kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya, maka inilah yang disebut silaturahmi. Apalagi kalau kita bersilaturahmi kepada orang yang membenci kita atau seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya. Inilah silaturahmi yang sebenarnya.

Dalam sebuah hadis diungkapkan, "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum?" tanya Rasul pada para sahabat. "Tentu saja," jawab mereka. Beliau kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturahmi" (HR Bukhari Muslim).

Dari sini terlihat jelas, betapa pentingnya menyambungkan tali silaturahmi dan memperkuat nilai persaudaraan tersebut. Betapa tidak! Dengan silaturahmi maka akan terjalin rasa kasih sayang dengan sesama manusia, bahkan dengan makhluk Allah lainnya. Bila ini terjadi maka rahmat dan kasih sayang Allah pun akan turun dan menaungi hidup kita.

Tapi sebaliknya, rahmat dan kasih sayang Allah akan menjauh bila tali silaturahmi sudah terputus di antara kita. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya rahmat Allah tidak akan turun kepada suatu kaum yang di dalamya ada orang yang memutuskan tali persaudaraan".

Seorang sahabat yang bernama Abu Awfa pernah bekisah. Ketika itu, kata Abu Awfa, kami berkumpul dengan Rasulullah SAW. Tiba-tiba beliau bersabda, "Jangan duduk bersamaku hari ini orang yang memutuskan tali silaturahmi". Setelah itu seorang pemuda berdiri dan meninggalkan majelis Rasul. Rupanya sudah lama ia memendam permusuhan dengan bibinya. Ia segera meminta maaf kepada bibinya tersebut, dan bibinya pun memaafkannya. Ia pun kembali ke majelis Rasulullah SAW dengan hati yang lapang.

Sahabat, bagaimana mungkin hidup kita akan tenang kalau di dalam hati masih tersimpan kebencian dan rasa permusuhan. Perhatikan keluarga kita, kaum yang paling kecil di masyarakat. Bila di dalamnya ada beberapa orang saja yang sudah tidak saling tegur sapa, saling menjauhi, apalagi kalau di belakang sudah saling menohok dan memfitnah, maka rahmat Allah akan di jauhkan dari rumah tersebut. Dalam skala yang lebih luas, dalam lingkup sebuah negara. Bila di dalamnya sudah ada kelompok yang saling jegal, saling fitnah, atau saling menjatuhkan, maka dikhawatirkan bangsa tersebut akan semakin jauh dari rahmat dan pertolongan Allah SWT.

Dari sini bisa kita pahami kenapa Rasul tidak menoleransi sekecil apapun perbuatan yang bisa menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Berhati-hatilah kalian terhadap prasangka, sebab prasangka itu sedusta-dustanya cerita. Jangan pula menyelidiki, mematai-matai, dan menjerumuskan orang lain. Dan janganlah saling menghasud, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian sebagai hamba Allah yang bersaudara" (HR Bukhari Muslim).

Silaturahmi adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubungnya silaturahmi, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Ini sangat penting. Sebab, bagaimana pun besarnya umat Islam secara kuantitatif, sama sekali tidak ada artinya, laksana buih di lautan yang mudah diombang-ambing gelombang, bila di dalamnya tidak ada persatuan dan kerja sama untuk taat kepada Allah. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Bila Diri Sempit Hati

"Setiap orang akan menafkahkan apa yang dimilikinya. Kalau kita memiliki keburukan, maka yang kita nafkahkan adalah keburukan; kalau yang kita miliki itu kemuliaan, maka yang kita nafkahkan juga kata-kata mulia."Sahabat, alangkah menderitanya orang-orang yang sempit hati. Hari-harinya menjadi tidak nyaman, pikirannya menjadi keruh, dan penuh rencana buruk. Waktu demi waktu yang dilaluinya sering kali diisi kondisi hati yang mendidih, bergolak, penuh ketidaksukaan, terkadang kebencian, bahkan dendam kesumat.

Dia pun akan mudah tersinggung, dan kalau sudah tersinggung seakan-akan tidak ada kata maaf. Hatinya baru terpuaskan dengan melihat orang yang menyinggungnya menderita, sengsara, atau tidak berdaya. Karena itu, tak heran bila menjelang tidur, otaknya berpikir keras menyusun rencana bagaimana memuntahkan kebencian dan rasa dendam yang ada di lubuk hatinya agar habis tandas terpuaskan pada orang yang dibencinya.

Ingatlah bahwa hidup di dunia ini hanya satu kali. Hanya sebentar, belum tentu panjang umur. Amat rugi kalau kita tidak bisa menjaga suasana hati. Saudaraku, kekayaan yang sangat mahal dalam hidup ini adalah suasana hati. Walau rumah kita sempit, tapi hati kita lapang, maka akan terasa lapang pula hidup kita. Walau tubuh kita sakit, tapi kalau hati kita sehat, maka hidup akan lebih tenang. Walau badan kita lemas, tapi kalau hati tegar, maka jiwa kita insya Allah akan terasa lebih mantap.

Lalu, bagaimana caranya agar kita berhati lapang dan mampu mengatasi perasaan-perasaan yang sempit itu? Pertama, kita harus mengondisikan hati agar selalu siap untuk dikecewakan. Hidup ini tidak akan selamanya sesuai dengan keinginan. Artinya, kita harus siap dengan situasi dan kondisi apapun. Kita jangan hanya siap dengan kondisi enak saja. Kita harus siap dengan kondisi yang paling pahit dan sulit sekalipun. Benarlah bila pepatah mengatakan: 'Sedia payung sebelum hujan'. Artinya, hujan atau tidak hujan kita harus selalu siap.

Kedua, kalau toh ada yang mengecewakan, maka jangan terlalu dipikirkan. Mengapa? Kita akan rugi oleh pikiran kita sendiri. Sudah lupakan saja, karena yang memberi dan membagikan rezeki hanyalah Allah semata; juga yang mengangkat derajat dan menghinakan manusia juga hanya Allah. Apa perlunya kita pusing dengan omongan orang? Apalagi kalau kita tidak salah dan berada di jalan yang benar. Biar pun orang tersebut kelelahan menghina kita, sungguh tidak akan berkurang sedikit pun pemberian Allah kepada kita. Kita tidak akan hina dengan cemoohan orang. Kita hanya akan hina dengan perilaku kita sendiri.

Rasulullah SAW dihina, tetapi ia tetap cemerlang bagaikan intan berlian, sedangkan yang menghinanya, Abu Jahal, sengsara. Demikian juga Salman Rusdhie yang terus dilanda ketakuan dan tak bisa ke mana-mana. Siapa yang menabur angin, maka ia akan menuai badai. Ada kisah menarik. Suatu ketika Nabi Isa AS dihina, tapi ia tetap tersenyum, tenang, dan mantap. Tidak sedikit pun beliau menjawab dengan kata-kata kotor dan tajam seperti dilontarkan orang yang menghina tersebut.

Saat ditanya oleh sahabatnya, "Wahai Nabi, kenapa engkau tidak menjawab dengan kata-kata yang sama ketika engkau dihina, malah engkau membalasnya dengan kebaikan?" Nabi Isa AS menjawab, "Setiap orang akan menafkahkan apa yang dimilikinya. Kalau kita memiliki keburukan, maka yang kita nafkahkan adalah keburukan; kalau yang kita miliki itu kemuliaan, maka yang kita nafkahkan juga kata-kata mulia".

Sungguh seseorang akan menafkahkan apa-apa yang dimilikinya. Suatu ketika seorang saleh bernama Ahnaf bin Qais dimaki-maki seseorang menjelang masuk ke kampungnya dengan kata-kata: "Hai kamu bodoh, gila, kurang ajar". Namun, Ahnaf bin Qais malah menjawab, "Sudahkah? Apakah masih ada hal lain yang akan disampaikan? Sebentar lagi saya masuk ke kampung. Kalau nanti didengar orang-orang sekampung, mungkin nanti mereka akan mengeroyokmu. Ayo, kalau masih ada yang disampikan, sampaikanlah sekarang!"

Saudaraku percayalah, semakin mudah kita tersinggung, apalagi hanya karena hal-hal sepele, maka akan semakin sengsara pula hidup ini. Apakah kita akan memilih hidup sengsara? Tentu tidak bukan? Justru kita harus menjadikan orang-orang yang menyakiti kita sebagai ladang amal. Bagaimana bisa begitu? Kalau kita tidak ada yang menghina atau menyakiti, kapan kita mau memaafkan? Yang pasti, semakin kita berjiwa pemaaf, maka hati kita akan semakin lapang; semakin bisa memahami orang lain; dan hidup kita akan semakin aman dan tentram. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Memupus Kedendaman

''(Orang-orang bertakwa) yaitu mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan'' (QS Ali Imran [3]: 134).

Dendam adalah buah dari hati yang terluka, hati yang tersakiti, teraniaya, atau karena merasa terambil haknya. Wujud dendam yang paling nyata adalah kemarahan dan kebencian yang membludak. Bila dendam seseorang membara, maka dia akan mencari jalan untuk mencemarkan, mencoreng, atau kalau perlu mencelakakan orang yang didendaminya sampai binasa. Alangkah sengsaranya orang yang hatinya penuh dendam!

Sudah menjadi tabiat manusia, tatkala hatinya disakiti, dia akan merasa sakit hati dan boleh jadi berujung dengan kedendaman. Walaupun demikian, bukan berarti kita harus dendam setiap kali ada yang menyakiti. Malah sebaliknya, jika kita dizalimi, maka doakanlah orang-orang yang menzalimi itu agar bertaubat dan menjadi orang saleh. Mampukah kita melakukannya?

Doa orang yang dizalimi itu benar-benar mustajab. Sehingga ketika dizalimi, saat itu pula terbuka peluang doa kita terijabah. Sulit memang, tapi itulah penentu kemuliaan diri. Rasulullah SAW bersabda, "Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah agar engkau menghubungkan tali silaturahmi dengan orang yang memutuskan silaturahmi denganmu, memberi sesuatu kepada orang yang menghalang-halangi pemberian padamu, serta memberi maaf kepada orang yang menganiaya dirimu".

Rasulullah SAW adalah sosok yang hatinya bersih dari sifat dendam. Walau ia dihina, dicacimaki, difitnah, bahkan hendak dibunuh, tak sedikit pun ia mendendam. Bahkan, ia mati-matian berbuat baik kepada orang-orang tersebut dan begitu ringannya ia memaafkan.

Karena itu, siapa saja di antara kita yang hatinya terbelit kedendaman, ingatlah! Dendam hanya akan membawa kesengsaraan, menghancurkan kebahagiaan, merusak pikiran, dan harga diri kita. Yang paling mengerikan, dendam bisa menyeret kita pada panasnya api neraka. Na'udzubillah.

Bagaimana caranya agar kita tidak menjadi seorang pendendam, bahkan berubah menjadi seorang pemaaf seperti dicontohkan Rasulullah SAW? Ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, kita harus menyadari bahwa semua orang beriman itu bersaudara. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hujuraat [49]: 10, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (Allah)".

Pemahaman bahwa setiap orang bersaudara, sedikit banyak, akan membawa tambahan energi bagi kita dalam mengendalikan kemarahan dan rasa sakit hati. Bila konsep ini tertanam kokoh di hati, maka kita akan berusaha sekuat mungkin untuk tidak mencelakakan saudara kita.

Kedua, kita terus berlatih untuk mengikis sifat dendam tersebut. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari para karateka yang berhasil menghancurkan batubata dengan tangannya. Pertama kali memukulnya, bata tersebut tidak langsung hancur. Tapi, dia tak patah semangat. Diulanginya terus usaha untuk menghancurkan bata tersebut. Akhirnya, pada pukulan kesekian, pada hari kesekian, bata tersebut berhasil dihancurkan. Memang, tangannya bengkak-bengkak, tetapi dia mendapatkan hasil yang diinginkan.

Begitu pula dengan hati. Jika hati dibiarkan sensitif, maka hati ini akan mudah sekali terluka. Akan tetapi, jika hati sering dilatih, maka hati kita akan semakin siap menghadapi pukulan dari berbagai arah. Jika kita telah disakiti seseorang, kita jangan melihat orang tersebut, tetapi lihatlah dia sebagai sarana ujian dan ladang amal kita terhadap Allah. Kita akan semakin sakit, tatkala melihat dan mengingat orangnya.

Bagaimana seandainya kita dicaci, dikritik, atau diserang orang dengan kata-kata yang tidak mengenakkan? Kuncinya evaluasi diri. Kita tidak akan pernah rugi diperlakukan apa pun oleh orang lain, jika kita menyikapinya dengan cara yang benar. Setelah mengevaluasi diri, kita perlu memperbaikinya. Balasan dan jawaban yang efektif adalah dengan akhlak yang baik. Kita dicemooh, dihina, dan diolok-olok orang lain, maka biarkan saja. Pada akhirnya, orang akan melihat siapa yang difitnah dan siapa yang memfitnah.

Jika kita menjadi lebih baik, Allah akan memuliakan kita. Jika Allah sudah memuliakan, maka kita tidak akan menjadi hina karena hinaan orang lain. Balaslah keburukan orang lain dengan cara terbaik; Ifda' billati hiya ahsan. Itulah kunci kemuliaan diri. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Meneladani Dzat Yang Maha Pemberi

Siapa yang beribadah kepada Allah demi mendapat keuntungan surga, sesungguhnya ia telah menjadikan Allah sebagai 'sarana' untuk mendapatkan surga, dan bukan menjadikan-Nya sebagai tujuan. Semoga Allah Yang Mahakaya lagi Mahasempurna pemberian-Nya mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk ikhlas dalam beramal; kemampuan untuk tidak bergantung selain kepada-Nya.

Saudaraku, Allah 'Azza wa Jalla Maha Mengetahui kebutuhan setiap makhluk-Nya. Dengan rahmat dan karunia-Nya, Ia memberikan segala apa yang dibutuhkan manusia tanpa diminta. Ia tidak berharap imbalan, balasan, ataupun pujian dari makhluk-Nya. Maha Suci Allah dari ketergantungan terhadap apapun.

Allah adalah Dzat yang memiliki sifat Al-Wahhab; sifat Maha Memberi. Makna Al-Wahhaab menekankan bahwa hanya Allah-lah yang sanggup memberi siapa pun yang membutuhkan, tanpa mengharap imbalan. Tiada seorang pun yang berhak menyandang predikat Al-Wahhaab karena makhluk memiliki sifat yang tidak sempurna, serba kekurangan, sehingga mustahil ia bisa memberi secara berkesinambungan. Sementara Allah adalah Al-Wahhaab, Maha Memberi dengan terus berkesinambungan karena Dia Mahakaya dan Mahatahu Kebutuhan makhluk-Nya.

Al Wahhaab adalah sifat 'kedermawanan' Allah kepada seluruh makhluk. Tiada yang sanggup berbuat dermawan seperti sifat Allah ini. Betapa tidak, setiap pemberian yang dilakukan manusia selalu berujung pada kepentingan tertentu, yakni mendapat imbalan. Imbalan dalam konteks makna ini, bukan sekadar sesuatu yang material. Bisa saja sekadar pujian, persahabatan, menghindari celaan, demi ketenangan hati, atau berharap selamat hingga masuk surga. Apa yang dilakukan manusia lebih tepat jika disebut suatu "transaksi".

Satu-satunya sifat yang bisa mendekati sifat Al-Wahhaab adalah jika saja manusia bisa mengorbankan jiwa dan miliknya demi Allah semata, bukan demi tercapainya kenikmatan surga atau terhindar dan kepedihan neraka. Sifat inipun lebih tepat disebut murah hati. Satu tingkat di bawahnya adalah mereka yang memberikan dengan sukarela demi tercapainya kenikmatan surga. Sedangkan tingkat lebih rendah lagi adalah orang yang memberi untuk mendapatkan pujian.

Imbalan apa yang akan didapatkan oleh orang yang murah hati (yang tentu tak dimintanya)? Ia akan mendapatkan keridhaan dan pertemuan dengan Allah Azza wa Jalla. Inilah kebahagiaan hakiki. Siapa yang beribadah kepada Allah demi mendapat keuntungan surga, sesungguhnya ia telah menjadikan Allah sebagai 'sarana' untuk mendapatkan surga, dan bukan menjadikan-Nya sebagai tujuan. Barangkali, jika saja surga dapat dicapai dengan cara lain tanpa beribadah kepada Allah, bisa jadi dia tidak akan beribadah kepada Allah karena ia tak akan memperoleh surga dengan cara itu. Ia akan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Dan, Allah bukanlah menjadi tujuannya. Wallahu'alam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Meneladani Allah Sebagai Al-Haadi'

Kita jangan bangga memiliki anak, suami, atau orangtua yang cerdas, kalau mereka tidak memiliki hidayah agama. Karena, hidayah inilah yang akan membuat akal memuliakan kita. Hati akan cemas ketika kita berjalan di lorong gua yang gelap. Hati pun akan cemas ketika kita berjalan di belantara yang masih asing. Begitupula kalau tersesat, hati kita akan cemas, walau tersesatnya di Masjidil Haram.

Namun, akan beda rasanya bila kita berjalan di gulitanya malam dan ada yang menuntun, terlebih bila yang menuntun tersebut sangat tahu medan dan ingin menyelamatkan kita, hati akan tenang. Ketika kita masuk ke sebuah kota dengan disertai seorang pemandu ahli, maka hati kita pun akan tenang. Apa yang dimaksud dengan petunjuk jalan? Ia adalah yang tampil ke depan memberi petunjuk. Mereka ini disebut haadi. Salah satu asma' Allah adalah Al-Haadi atau Allah Yang Maha Memberi Petunjuk.

Kata yang terdiri dari huruf "ha", "dal", dan "ya", memiliki makna "tampil ke depan memberi petunjuk". Tongkat disebut haadi karena tongkat biasanya lebih depan daripada kaki. Arti kedua adalah "menyampaikan dengan lemah lembut". Dari sini lahirlah kata "hadiah", karena hadiah disampaikan dengan lemah lembut. Pengantin wanita disebut juga al-haadiyu', karena ia menjadi "hadiah" yang lembut bagi suaminya. Jadi, kalau dikaitkan dengan Allah Al-Haadi; Allah Yang Maha Memberi Petunjuk bermakna bahwa Allah bisa memberi petunjuk dengan sangat lemah lembut sehingga tidak dirasakan oleh orang yang mendapatkan petunjuk tersebut.

Hidayah Allah
Hidayah (petunjuk) yang diberikan Allah kepada manusia bermacam dan bertingkat-tingkat bentuknya. Hidayah tingkat pertama disebut insting atau naluri. Contohnya seorang bayi akan langsung menangis ketika dilahirkan. Ia bisa menangis bukan kerena belajar, tapi refleks hingga ia mendapatkan air susu yang dibutuhkannya. Namun, naluri tidak didesain untuk memecahkan persoalan.

Oleh karena itu, Allah SWT memberi hidayah tingkat kedua, yaitu panca indra. Inilah hidayah Allah yang membuat kita bisa melihat, mendengar, merasa, dan mendapatkan banyak informasi. Panca indra membuat kita mampu mengambil sikap dengan baik. Sayangnya, indra ini tidak selamanya benar dan akurat. Misal, kayu yang lurus akan kelihatan bengkok di air, rel kereta api ujungnya seperti bersatu, pelupuk mata yang paling dekat dengan mata tidak mampu kita lihat. Sangat dekat tidak terlihat, demikian pula kalau jauh tidak terlihat. Intinya, indra tidak selalu mampu memberitahukan informasi yang paling benar.

Di atas panca indra, ada hidayah tingkat ketiga yaitu akal. Akal adalah hidayah istimewa yang dikaruniakan Allah SWT kepada manusia yang tidak diberikan pada binatang. Rel kereta api terlihat bersatu dengan panca indra, tapi tidak bersatu menurut akal. Dengan akal kita bisa menganalisis dengan baik, melihat dengan cermat, dan mengambil keputusan dengan lebih tepat.

Walaupun demikian, akal sering disalahgunakan. Orang bisa "efektif" melakukan kejahatan karena menggunakan akal. Karena itu, kita jangan bangga memiliki anak, suami, atau orangtua yang cerdas, kalau mereka tidak memiliki hidayah keempat, yaitu hidayah agama. Hidayah inilah yang menjadikan akal memuliakan manusia. Yang pintar banyak, tapi yang pintar sekaligus benar adalah hidayah paling mahal. Hidayah agama pun bertingkat-tingkat bentuknya. Dari mulai hidayah berupa pengetahuan tentang Islam, lalu hidayah berupa kemampuan untuk mengamalkan Islam, dan hidayah yang menjadikan hati kita selalu terpaut kepada Allah ketika beramal (keikhlasan). Inilah hidayah yang paling tinggi dan paling mahal hargaanya.

Hidayah adalah hak prerogatif Allah. Tidak seorangpun yang memiliki hak memberi hidayah pada orang lain, tanpa seizin Allah. Mungkin timbul pertanyaan, untuk apa kita berdakwah? Dakwah berfungsi untuk fadzakkir innama anta mudzakkir; hanya sekadar mengingatkan. Karena itu, jalan hidayah bisa bermacam-macam bentuknya, ada yang lewat ceramah, ada yang lewat VCD, SMS, acara televisi, dan lainnya. Dengan demikian kita jangan menganggap diri hebat karena telah mampu menyadarkan orang lain. Kita hanya sekadar perantara, hakikatnya Allah-lah yang memberi hidayah.

Bagi kita, masalahnya bukan bagaimana agar orang lain bisa mendapatkan hidayah, tapi sejauh mana kualitas kebenaran yang disampaikan dan sejauh mana keikhlasan kita dalam menyampaikan kebenaran tersebut. Kedua hal tersebut adalah syarat utama bagi dalam meneladani Allah sebagai Al-Haadi'; Dzat Yang Maha Memberi Petunjuk. Kita pun tidak akan mampu memberi petunjuk pada orang lain, bila kita tidak memiliki pengetahuan. Karena itu, meneladani Al-Haadi mengharuskan kita menjadi orang-orang yang berilmu dan gemar menjadi pengamal ilmu. Wallahua'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Beibadah Dengan Benar

Hidup ini mau kemana? Kita hanya mampir sebentar di dunia ini dan pasti akan mati. Lalu hendak dibawa kemana hidup yang hanya sekali-kalinya ini? Jawabannya adalah bahwa hanya Allahlah tujuan kita. Tujuan hidup kita ini hanyalah untuk mengabdikan diri (beribadah) kepada Allah. Firman-Nya: "Tidaklah sekali-kali Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdikan hidupnya kepada-Ku." (QS Adz Dzariyat [51]: 56).

Dalam 7B (kiat menjadi sukses), rahasia yang pertama adalah beribadah dengan benar. Mengapa harus beribadah?

Ibadah adalah fondasi. Tanpa ibadah, hidup bagaikan bangunan tanpa fondasi, pasti akan roboh. Tanpa ibadah yang tanggguh, sukses dunia akhirat hanyalah mimpi.

Beribadah dengan benar artinya membangun fondasi yang semakin memperjelas visi hidup ini mau dibawa kemana. Karena dengan beribadah maka akan semakin memperjelas bahwa Allah adalah Khalik (Yang Menciptakan), sedangkan kita adalah makhluk (yang diciptakan). Allah yang disembah, sedangkan kita yang menyembah-Nya. Allah yang memerintah (berkuasa), sedangkan kita yang diperintah-Nya.

Allah menciptakan dunia kemudian menciptakan makhluk. Makhluk diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, sedangkan dunia berikut isinya diciptakan hanyalah sebagai sarana agar kita bisa berkarya dan berbekal pulang untuk menghadap Allah.

Artinya dunia berikut isinya diciptakan hanyalah untuk melayani kita supaya kita bisa mengabdikan diri kepada Allah.

Orang yang tidak mengerti bahwa dunia ini hanyalah sebagai pelayan baginya, maka posisinya akan menjadi terbalik, justru dia yang akan diperbudak oleh dunia yaitu harta, pangkat, gelar, jabatan, dan syahwat.
Bayangkan, pelayannya menjadi majikannya. Dia dihinakan oleh hambanya sendiri. Itulah yang menyebabkan kerusakan dan keterpurukan manusia.
Kemudian Allah menciptakan Nabi Muhammad SAW agar kita bisa meneladani bagaimana cara beribadah dengan benar.

Oleh karena itu, siapapun yang ingin sukses, belajarlah lebih banyak tentang bagaimana beribadah dengan benar.
Cari ilmunya, segera praktikkan, dan istiqomahkan. Kemudian ajaklah istri dan anak beribadah dengan tangguh karena tidak akan ada yang menolong selain Allah.

Shalat, dzikir, shaum, dan ibadah lainnya itu adalah perangkat yang membuat fondasi kesuksesan. Tetapi ibadah tidak hanya itu saja, melainkan segala aktivitas yang dijalankan dengan niat yang lurus karena Allah dan ikhtiar di jalan yang disukai Allah itu adalah ibadah.
Misalnya dalam bekerja, orang-orang yang bekerjanya tidak diniatkan untuk beribadah tidak akan tahu orientasi hidup ini akan dibawa kemana, sehingga kesibukannya hanya mencari uang.

Karenanya kalau bekerja, niatkan untuk mengabdikan diri kepada Allah dengan cara yang disukai Allah. Tugas kita adalah bagaimana kita sibuk bekerja sehingga menjadi amal kebajikan, bukan karena harta, tetapi karena kerja adalah ladang amal. Harta sudah dibagikan sebelum kita tiba di dunia ini.

Ciri orang yang beribadah dengan benar di antaranya adalah akhlaknya akan lebih terjaga, perbuatannya akan terpelihara dari kezaliman terhadap orang lain, dan emosinya akan lebih stabil.

Kemudian ciri lainnya adalah qolbunya akan tenteram, pikirannya akan jernih, prestasinya mudah diraih, ide dan gagasannya akan ditolong oleh Allah.

Misalnya, jika sedang rapat datang waktu shalat, maka utamakanlah shalat karena yang paling penting dari rapat itu justru bagaimana agar bisa ditolong oleh Allah.

Kalau kita melalaikan shalat, maka keputusan yang diambil belum tentu tepat karena benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah.
Tetapi dengan mengutamakan ibadah, mudah-mudahan Allah menuntun kita menemukan jalan keluar walaupun berhadapan dengan banyak masalah.

Hanya Allahlah satu-satunya yang menguasai langit dan bumi, kita semua dalam genggaman Allah.

Jadi, mimpi negeri kita akan bangkit kalau rakyat dan para pemimpinnya menganggap remeh ibadah.

Mimpi kita memiliki aparat dan tentara yang kita idolakan, kalau kepada Allah tidak takut. Kalau tentara mempunyai senjata doa, maka akan bisa meluluhkan hati musuh sehingga menjadi shalih. Zaman Rasulullah banyak musuh yang terkulai hatinya bukan dengan senjata perang, tapi dengan senjata doa.

Mimpi kita mempunyai keputusan negara yang baik kalau para pengambil keputusannya tidak baik ibadahnya. Apa yang bisa dilakukan hanya oleh manusia seperti kita kalau tidak dibimbing dan ditolong oleh Allah Yang Mahatahu dan Menguasai segala sesuatu.

Terlalu sombong bagi kita hidup tidak mengenal ibadah. Ciri kesombongan dan ketakaburan seseorang dilihat dari keengganannya beribadah.

Maka, selamat berjuang saudaraku. Jadilah ahli ibadah yang istiqomah dan ikhlas.

Tabah Menyikapi Musibah

Kuncinya, tumbuhkan keyakinan kepada Allah. Kita akan kuat menghadapi musibah segetir apapun, kalau kita segera kembali kepada Allah. Semakin cepat kembali pada Allah, maka akan semakin ringan. Semakin utuh dalam yakin kepada Allah, maka akan semakin tenang hati kita.

Dalam beberapa hari terakhir banyak yang berkonsultasi kepada saya tentang permasalahan hidup yang mereka alami. Ada yang terlilit utang. Ada yang anaknya terkena AIDS. Ada yang suaminya terkena penyakit mematikan, padahal mereka baru saja menikah. Ada yang terpukul karena suaminya selingkuh. Dan, ada pula yang patah hati karena putus cinta.

Saudaraku, ada saatnya kita akan ditimpa kepahitan dan kegetiran dalam hidup. Apalagi kalau kita simak janji Allah dalam Alquran bahwa manusia akan diuji dengan ketakutan, perasaan mencekam, atau panik. Karena itu, bila musibah itu terjadi, maka, segera bangkitkan kesadaran bahwa inilah episode yang harus kita dijalani. Kita tidak bisa lari bila waktunya sudah tiba. Jangan pernah lari dari kenyataan, karena hal ini tidak akan mampu menyelesaikan masalah.

Kedua, tatkala kesusahan menimpa, segera kumpulkan segenap kekuatan dan katakan, ''Saya tidak boleh gagal menghadapi ujian ini; saya tidak boleh hancur dengan ujian ini; hidup saya tidak boleh rusak dengan ujian ini; saya harus jalani semua ini dengan baik.'' Kalau kata-kata ini terus kita dengungkan, maka akan ada energi baru yang akan mendorong kita untuk bangkit dan tangguh menjalani semua musibah tersebut. Dalilnya, ''Aku adalah sesuai dengan prasangka hamba-Ku.''

Ketiga, yakinlah bahwa segala sesuatu pasti ada ujungnya. Setiap ujian akan berakhir, tidak mungkin akan abadi sepanjang kita hidup. Allah SWT akan menguji manusia berepisode-episode. Dalam QS Al-Baqarah ayat 184 disebutkan, Allah tidak akan membebani hamba-Nya, melainkan sesuai dengan kemampuan hamba tersebut. Ingatlah akan janji Allah bahwa sesudah kesulitan pasti akan ada kemudahan; pasti bersama kesulitan itu akan ada kemudahan (QS Alam Nasyrah [94]: 5-6).

Kita pun bisa melihat orang yang ditimpa kesulitan lebih hebat, tapi mereka tetap kuat. Lihatlah bagaimana beratnya Bilal bin Rabah disiksa dengan himpitan batu besar di tengah padang pasir yang panas, ternyata ujian ini pun berakhir, dan beliau menjadi seorang manusia yang dihormati.

Keempat, teguhkan dalam hati bahwa saya harus mendapatkan nilai tambah dari penderitaan ini. Allah tidak akan pernah zalim kepada hamba-Nya, pasti ada hikmah di balik setiap kejadian. Ada berjuta kenikmatan yang menanti kita di ujung penderitaan ini, dan kita mesti mendapatkannya. ''Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, berjuang terlebih dahulu, bersenang-senang kemudian.''

Kita bisa melihat orang yang siap menghadapi ujian, ia senang karena di akhir ia akan diwisuda. Lihat seorang yang mendaki gunung tinggi, ia senang karena akan melihat pemandangan indah di puncak. Karena itu, fokuskan keberuntungan yang akan kita raih di masa datang.

Kuncinya, tumbuhkan keyakinan kepada Allah. Kita akan kuat menghadapi musibah segetir apapun, kalau kita segera kembali kepada Allah. Semakin cepat kembali pada Allah, maka akan semakin ringan. Semakin utuh dalam yakin kepada Allah, maka akan semakin tenang hati kita. Dalam Alquran, Allah SWT berjanji akan membahagiakan orang-orang yang sabar, yaitu yang tatkala di timpa musibah, ia bulat kembali kepada Allah. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ''Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah, dan kepada-Nya kami akan kembali.'' (QS Al-Baqarah [2]: 155-156)

Kenapa kita menderita walau hanya karena persoalan kecil? Sebabnya, kita tidak berhasil secepatnya mengembalikan urusan pada Allah SWT. Contoh yang kehilangan kendaraan, semakin ingat kendaraan akan semakin sengsara pula batin kita. Harusnya kita lebih ingat kepada Allah yang memberikan kendaraan tersebut, bukannya lebih ingat pada kendaraan. Ingat ke kendaraan milik saya, akan berat. Ingat ke kendaraan milik Allah, akan lebih ringan. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gyimnastiar

Belajar Dari Wajah

Subhanallah, walaupun kulitnya tidak putih, tetapi ketika memandang wajahnya... sejuk sekali! Senyumnya begitu tulus meresap ke relung kalbu yang paling dalam. Menarik sekali jika kita terus-menerus belajar tentang fenomena apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini. Salah satunya adalah wajah. Wajah? Ya, wajah. Wajah bukan hanya masalah bentuk, yang utama adalah pancaran yang tersemburat dari si pemilik wajah tersebut.

Ketika pagi menyingsing misalnya, tekadkan dalam diri, ''Saya ingin tahu wajah yang paling menenteramkan hati itu seperti apa? Wajah yang paling menggelisahkan itu bagaimana?'' Karena, pasti hari ini kita akan banyak bertemu dengan wajah orang per orang.

Saat berjumpa dengan orang, kita bisa belajar ilmu tentang wajah, karena setiap wajah memberikan dampak yang berbeda-beda kepada kita. Ada yang menenteramkan, ada yang menyejukkan, ada yang menggelikan, ada yang menggelisahkan, dan ada pula yang menakutkan. Menakutkan? Mengapa? Apakah karena bentuk hidungnya? Tentu saja tidak! Sebab ada yang hidungnya mungil, tapi menenteramkan. Ada yang sorot matanya tajam menghunjam, tapi menyejukkan. Ada yang kulitnya hitam, tapi penuh wibawa.

Aa pernah berjumpa dengan seorang ulama dari Afrika di Masjidil Haram. Subhanallah, walaupun kulitnya tidak putih, tidak kuning, tetapi ketika memandang wajahnya... sejuk sekali! Senyumnya begitu tulus meresap ke relung kalbu yang paling dalam. Sungguh bagai disiram air menyegarkan pada siang hari.

Kalau hari ini kita berhasil menemukan wajah seseorang yang menenteramkan, maka cari tahu mengapa dia bisa memiliki wajah seperti itu. Tentu kita akan menaruh hormat kepada dia. Betapa senyumannya yang tulus, pancaran wajahnya tampak sekali ia ingin membahagiakan siapa pun yang menatapnya. Sebaliknya, bagaimana kalau kita menatap raut wajah yang berlawanan? Wajahnya bengis, struktur katanya ketus, sorot matanya kejam, senyumannya sinis, dan sikapnya pun tidak ramah. Ini pun perlu kita pelajari.

Ambillah kelebihan dari wajah yang menenteramkan dan menyejukkan tadi menjadi bagian dari wajah kita, dan buang jauh-jauh raut wajah yang tidak menenteramkan. Tidak ada salahnya jika kita evalusi diri di depan cermin. Tanyalah, raut seperti apakah yang ada di wajah ini?

Memang, ada di antara hamba-hamba Allah yang bibirnya didesain agak berat ke bawah. Kadang-kadang menyangkanya dia kurang senyum, sinis, atau kurang ramah. Subhanallah, bentuk seperti ini pun karunia Allah yang patut disyukuri dan bisa jadi ladang amal bagi siapa pun yang memilikinya untuk berusaha senyum ramah lebih maksimal lagi.

Bagi wajah yang untuk seulas senyum itu sudah ada, maka tinggal meningkatkan lagi kualitas senyum tersebut, agar lebih ikhlas lagi. Karena senyum bukan sekadar mengangkat ujung bibir saja, tapi yang utama adalah keinginan membahagiakan orang lain. Rasulullah SAW memberikan perhatian yang luar biasa kepada setiap orang yang ditemuinya sehingga orang itu merasa puas. Diriwayatkan, bila ada orang yang menyapanya, Rasul menganggap orang tersebut adalah orang yang paling utama, sesuai kadar kemampuannya.

Walhasil, ketika Rasul berbincang dengan siapa pun, maka orang yang diajak berbincang itu senantiasa menjadi curahan perhatian. Tak heran bila cara memandang dan bersikap, ternyata menjadi atribut kemuliaan yang ia contohkan. Hal itu berpengaruh besar terhadap sikap dan perasaan orang yang diajak bicara.

Kemuramdurjaan, ketidakenakan, dan kegelisahan itu muncul karena kita belum menganggap orang yang ada dihadapan kita sebagai yang paling utama. Makanya, kita sering melihat seseorang itu hanya separuh mata, berbicara hanya separuh perhatian. Misalnya, ketika ada seseorang yang datang menghampiri, kita sapa orang itu sambil baca koran. Padahal, kalau kita sudah tidak mengutamakan orang lain, maka curahan kata-kata, cara memandang, cara bersikap, itu tidak akan punya daya sentuh dan daya pancar yang kuat.

Karena itu, marilah kita berlatih diri meneliti wajah. Tentu bukan untuk meremehkan, tapi mengambil teladan wajah yang baik dan menghindari yang tidak baik. Lalu praktikkan dalam perilaku sehari-hari. Selain itu, belajarlah untuk mengutamakan orang lain, walaupun hanya sesaat saja. Wallahu a'lam.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Alah Yang Maha Pemelihara

Bila ingin tahu orang yang benar-benar dipelihara Allah, kita bisa melihat apakah ia punya iman atau tidak. Sehebat apapun seseorang, jika tak punya iman, tidak ada jaminan ia selamat sampai akhirat. Kebersihan adalah syarat keindahan. Sebagus apapun suatau barang, akan hilang keindahannya apabila tidak bersih. Secantik apapun wajah, kalau tidak bersih, pasti hilang keindahannya. Jadi, keindahan sangat berkaitan dengan kebersihan.

Keindahan sangat berkaitan pula dengan pemeliharaan. Karena, indah saat ini belum tentu indah di kemudian hari. Kulit yang halus, mulus, dan bersih, akan hilang keindahannya apabila tidak dipelihara. Demikian pula rambut yang hitam berombak, akan hilang keindahannya apabila tidak dirawat. Motor yang bagus tidak akan berumur panjang, andai tidak dipelihara dengan baik.

Karena itu, memelihara adalah perbuatan yang akan memperindah. Memelihara adalah perbuatan yang akan mendekatkan kita kepada Allah. Betapa tidak, Allah adalah Dzat Yang Mahaindah dan mencintai keindahan. Salah satu nama Allah dalam Asma'ul Husna adalah Al-Hafidz; Allah yang Maha Pemelihara. Kata Al-Hafidz terambil dari tiga akar kata yang terdiri dari tiga huruf yang bermakna "memelihara" serta "mengawasi". Dari makna ini lahir makna "menghafal", karena yang mengahafal memelihara dengan baik ingatannya. Hafidz Quran adalah orang yang memelihara Alquran dengan menghafalnya.

Al-Hafidz bermakna pula "tidak lengah" karena sikap ini mengantarkan keterpeliharaan dan "menjaga". Penjagaan adalah bagian dari pemeliharaan dan pengawasan. Allah adalah Dzat yang tidak pernah lengah terhadap semua ciptaan-Nya. Apapun yang Ia ciptakan, pasti akan diurus, dirawat, dan dijaga kelestariannya. Tak heran bila alam ini begitu indah dan mempesona, karena Allah memeliharanya. Demikian pula planet dan tata surya selalu berada dalam keseimbangan, kesempurnaan, dan tidak ada cela sedikit pun, karena Allah menjaga dan memelihara semuanya. Demikian pula manusia, ada dalam penjagaan dan pemeliharaan Allah. Tidak terbayang kalau kita harus merawat diri kita seluruhnya; kita tidak akan mampu.

Allah Maha Memelihara makhluk-Nya. Bagaimana caranya? Dengan sunatullah. Misalnya, cumi-cumi dibekali dengan 'tinta' untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Ular dijaga dengan memiliki bisa atau lilitan yang kuat. Semua makhluk ada pemiliharanya. Bagaimana dengan manusia? Secara fisik, kita diberikan kemampuan, secara akal diberikan kecerdasan. Tapi, karunia iman adalah pemeliharaan termahal yang pernah Allah berikan. Dengan iman, kita akan terpelihara dunia akhirat. Maka, kalau kita ingin mengetahui orang yang benar-benar dipelihara Allah, kita bisa melihat apakah ia punya iman atau tidak. Sehebat dan secerdas apapun manusia, kalau tidak punya iman, tidak ada jaminan ia selamat sampai akhirat.

Karena itu, ada amanah perawatan yang dibebankan Allah SWT kepada kita. Jangan salahkan siapa pun andai kita tidak menikmati hidup ini, tidak nyaman, tidak indah, dan banyak masalah. Sebab, boleh jadi, kita mengabaikan amanah-amanah yang telah Allah berikan kepada kita. Lalu, apa yang harus kita rawat? Yang pertama adalah tubuh kita. Kalau kita ingin tubuh ini optimal, maka kita harus punya ilmu merawat tubuh. Caranya dengan berolahraga, dengan makanan bergizi dan teratur, istirahat yang cukup, dan lainnya.

Kedua adalah akal pikiran kita. Jika kita kurang ilmu, kurang membaca, maka otak kita jadi kurang berkembang dan tumpul. Bila otak tumpul, maka akan dominan emosi (marah) dalam diri. Mengapa ada orang yang semakin tua semakin temperamen, pemarah? Karena tidak ada lagi yang dapat dikeluarkan dari otaknya selain sikap marah. Karena itu, rawat dan percantik akal kita dengan ilmu yang bermanfaat. Kita harus memiliki motto, "tiada hari tanpa membaca dan tiada hari tanpa bertanya".

Yang ketiga adalah perawatan iman. Iman bersifat turun naik, kadang di atas kadang di bawah sekali. Karena itu, syarat pertama untuk merawat iman adalah ilmu, karena pupuk iman adalah ilmu. Syarat kedua perawatan iman adalah pergaulan yang baik. Maka carilah lingkungan dan teman yang lebih baik. Dan syarat ketiga, rawat iman dengan memperbanyak amal dari ilmu yang kita miliki. Amalkan setiap kali mendapatkan ilmu, karena dengan pengamalan itu Allah akan memberi kita ilmu yang baru. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh:KH Abdullah Gymnastiar

Meneladani Allah yang Mahatepat Tindakannya

Kita bisa bertindak tepat dan bijaksana apabila kita memiliki ilmu yang luas. Sangat sulit bagi orang yang sedikit ilmunya untuk menyikapi hidup ini dengan tepat.Semoga Allah Yang Mahatepat tindakan-Nya, menganugerahi kita ilmu yang luas, hati yang lapang, dan kebijaksanaan, sehingga kita mampu bertindak secara tepat dalam segala situasi.

Allah SWT memiliki nama Ar Rasyid atau Allah Yang Mahatepat Tindakan-Nya. Menurut Dr Quraish Shihab, semoga Allah meridhainya, kata ar-rasyid tersusun dari huruf ra', syin, dan dal, yang makna dasarnya adalah ketepatan dan lurusnya jalan. Dari makna ini lahirlah kata rusyd atau manusia yang sempurna akal dan jiwanya hingga ia mampu bertindak dan bersikap secara tepat.

Lahir pula kata mursyid yang mengandung arti yang memberikan bimbingan atau petunjuk dengan cara tepat. Jadi kalau ada seseorang yang disebut mursyid, berarti orang tersebut adalah orang yang tepat untuk menunjukkan ke jalan yang tepat dengan cara yang tepat pula. Kata ini bermakna pula kekuatan dan keteguhan. Rasyadah berarti batu karang, suatu benda yang menunjukkan kekuatan dan keteguhan. Kalau orang bernama rasyid, maka orang tersebut harus memiliki karakter tangguh, kuat, dan mampu bertindak tepat.

Karena Allah SWT memiliki sifat Ar Rasyid, maka semua tindakan Allah pasti tepat, cermat, dan tidak akan meleset. Ketentuan Allah tidak akan terlambat dan tidak pula terlalu cepat. Tidak kebesaran, tidak kekecilan. Tidak kelebihan, dan tidak kekurangan. Allah membalas manusia (baik dengan kenikmatan atau pun siksaan) dengan ukuran yang tepat dan sebanding dengan kapasitas amal yang dilakukan manusia bersangkutan. "Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" (QS Al Baqarah: 284).

Sayangnya, karena terbatasnya ilmu dan tingkat ma'rifatullah, kita sering kecewa terhadap semua ketentuan Allah. Kita sering merasa bahwa keinginan kita lebih tepat daripada ketentuan Allah, sehingga kita sering kecewa tatkala keinginan tidak terkabul. Padahal, menurut ilmu Allah, apa yang kita inginkan tidak baik atau bahkan berbahaya bagi kita.

Allah SWT berfirman, Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu; dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Sesungguhnya Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS Al Baqarah: 216).

Karena itu, kita meyakini bahwa Allah itu selalu tepat tindakan, waktu, dan momentum-Nya. Meski manusia bermilyar jumlahnya di dunia ini, tapi balasan Allah pasti tepat kepada orang per orang sesuai kadar keimanan dan kekufurannya. Balasannya pun tidak akan tertukar. Maka kita tidak usah khawatir menghadapi semua ketentuan Allah. Yang penting niat kita lurus dan ikhtiar kita maksimal.

Allah bertindak tepat karena ilmu Allah sangat luas, tidak bertepi. Ketepatan itu berbanding lurus dengan pengetahuan yang Dia miliki. Bukankah Ia adalah Al 'Alim; Dzat Yang Maha Mengetahui? Seorang hakim bisa memutuskan suatu perkara dengan tepat, karena ia memiliki pengetahuan dan bukti yang lengkap. Semakin lengkap data yang dia miliki, maka akan semakin tepat pula keputusan yang diambil.

Apa hikmahnya bagi kita? Pertama, kita bisa bertindak tepat dan bijaksana apabila kita memiliki ilmu yang luas. Sebagai ilustrasi, kita akan bicara tepat dan lancar apabila kita memiliki kekayaan kata-kata. Sangat sulit bagi orang yang sedikit ilmunya untuk menyikapi hidup ini dengan tepat. Seorang ibu yang hamil dan tidak memiliki ilmu memadai akan cenderung tersiksa dengan kehamilannya tersebut. Seorang ayah yang tidak memiliki ilmu mengurus rumah tangga, akan sulit bertindak bijak dalam membina rumah tangga.

Kunci kedua agar kita bisa bertindak tepat adalah pengendalian diri dan kesabaran. Seorang pemanah yang tepat, kuncinya adalah tenang. Tindakan yang emosional cenderung tidak tepat untuk menghasilkan sebuah solusi. Sikap yang emosional lebih banyak menghasilkan masalah daripada menyelesaikan masalah. Dengan sikap sabar, jernih, dan pengendalian diri, insya Allah setiap masalah dapat diselesaikan dengan cara yang tepat dan bijaksana. Dengan tindakan yang tepat, risiko pun bisa diminimalisasi dan hidup pun akan lebih mudah. Wallahu a'lam bish-shawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar