Rabu, 26 Mei 2010

Terpuruknya Kemuliaan Diri

Nasib manusia tak ubahnya seperti roda yang berputar. Kadang ia berada di atas, namun pada kali lain tiba-tiba berada di bawah. Hari ini seseorang mungkin tengah asyik menikmati karunia kemuliaan. Hidup penuh gelimang penghargaan, penghormatan, dan pujian dari sesama manusia lantaran harta, gelar, dan jabatan tergenggam di tangan. Akan tetapi, esok lusa mungkin ia jatuh terpuruk menjadi makhluk yang hina dina.

Hidup berlumuran aib, sehingga ke mana pun kakinya melangkah, cercaan, celaan, cibiran, dan cemoohan senantiasa menimpuki sekujur tubuhnya. Orang-orang yang dulu menghormati dan mengalunginya dengan sanjung puji telah menjauhinya sejauh-jauhnya. Tinggallah ia sendiri menjalani hidup tanpa harga diri. Beruntunglah bila semua hanyalah "sekadar" ujian dari Allah dan disadari sepenuhnya, sehingga ia pun menjadi ahli syukur ketika ujian berupa bala bencana datang mendera.

Tetapi, sungguh amat celaka bila semua itu tak lebih merupakan laknat Allah sehingga datangnya dunia membuat ia terlena, sehingga ia tidak punya harga hidup di dunia. Sedangkan datangnya bencana membuat dirinya benar-benar tidak lagi punya harga hidup di dunia. Baik dalam pandangan manusia maupun dalam pandangan-Nya. Harga diri adalah barang teramat mahal yang sekali-kali tidak akan bisa dibeli dengan uang.

Namun, sayangnya manusia yang telah mabuk dengan harta, gelar, dan kedudukan, justru beranggapan bahwa harga diri akan datang bila segala asesoris duniawi itu tergenggam erat di tangan. Padahal, demi Allah, itulah jiwa materialistis yang akan menghancurkan harga diri seseorang. Menurut Prof Emil Salim, ada lima ciri bangsa yang telah terasuki karakter kapitalistik. Pertama, segalanya hanya diukur dengan materi. Kedua, rakus, tamak, dan tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan diri.

Ketiga, aji mumpung. Keempat, individualistis atau hanya mau mementingkan dirinya sendiri. Dan kelima, hanya mau berkalkulasi untung rugi. Sekiranya kita telah ikut terasuki karakter seperti ini, maka hancurnya harga diri dan tinggal menunggu waktu. Apa saja faktor penghancur harga diri tersebut? Tak tahu malu dan enggan membalas jasa budi baik orang lain merupakan dua di antara empat karakter negatif yang sangat potensial membuat terpuruknya kemuliaan diri itu.

Tidak tahu malu
Inilah faktor pertama yang sangat potensial dapat menghancurkan harga diri kita. Sekali seseorang tebal muka, bermuka badak, maka ia tidak akan pernah merasa malu kalau hidupnya menjadi beban bagi orang lain. Di rumah, di kantor, maupun di lingkungan masyarakatnya ia hanya menjadi beban lantaran telapak tangannya selalu ia tadahkan kepada orang lain. Ketika pergi ke sekolah atau ke kantor, ia sangat senang mencari tumpangan.

la begitu menikmati jok mobil atau motor temannya tanpa sedikit pun terlintas di benaknya untuk membalas jasa, membelikan bensin atau mencucikan kendaraannya, misalnya. Hidup berkeluarga, bertahun-tahun ikut numpang di rumah mertua, namun semuanya ia jalani dengan ringan, tanpa berpikir sama sekali untuk turut membayarkan listrik, telepon, atau air ledeng yang sehari-hari dipakainya. Pemuda yang telah tamat sekolah, susah mencari kerja, tetapi sehari-hari hanya duduk mencangkung, sementara batang demi batang rokok ia isap, yang uang pembelinya ia dapatkan dari orang tua.

Siapa pun yang selama hidupnya hanya mengharapkan uluran tangan orang lain tanpa kemauan untuk suatu ketika memberikan sesuatu kepada orang lain, maka sehebat apapun ia, manusia-manusia benalu semacam ini tidak akan pernah mempunyai nilai. Islam mengajarkan, harga diri kita harus dijaga sekuat-kuatnya. Allah yang Mahakaya tidak mungkin lupa terhadap kebutuhan hamba-hamba-Nya. Terlalu berharap banyak dar makhluk, banyak suka terhadap apa yang ada di tangan orang lain; semua ini hanya akan membuat rontoknya wibawa dan kemuliaan diri kita.

Benar, kita memiliki beberapa kekurangan yang membuat kita membutuhkan pertolongan orang lain. Akan tetapi, hal yang harus kita ingat baik-baik adalah bahwa setiap kali kita menjadi beban bagi orang lain, maka kita pun harus berjuang sekuat tenaga agar bisa meringankan beban orang lain semampu kita. Belajarlah untuk malu menikmati sesuatu yang bukan menjadi hak kita. Karena, tanpa ini kita tidak akan pernah mempunyai harga dalam mengarungi hidup di dunia ini.

Tidak tahu balas budi
Membalas budi baik yang pernah dilakukan orang lain terhadap kita, sebenarnya bukanlah perkara yang sulit. Akan tetapi, sungguh tidak banyak orang yang memiliki kemauan dan kemampuan semacam ini. Padahal, ketika sangat membutuhkan bantuan seseorang. Kita begitu bersungguh-sungguh mengiba karena amat berharap orang sudi memberikan pertolongan. Namun. begitu masalah terpecahkan, kita pun segera melupakannya seolah-olah jalan keluar itu datang dengan sendirinya.

Satu contoh ringan saja. Ketika sakit biasanya kita segera pergi ke dokter untuk berobat. Namun, apa yang terjadi setelah penyakit sirna dari tubuh? Kita pun segera kembali tenggelam dengan kesibukan sehari-hari. Hampir tidak pernah terlintas dalam pikiran kita untuk mengangkat gagang telepon atau menulis surat sekadar untuk mengucapkan terima kasih kepada dokter tersebut. "Bukankah sudah saya berikan sekian ribu rupiah untuk jasa pengobatan?," itulah yang paling lumrah kita ucapkan.

Bahkan, ada sebuah pepatah, "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga". Bertahun-tahun seseorang telah menghidupi kita. Dari asalnya seorang pengangguran, diberinya kita lapangan pekerjaan. Kebutuhan kita pun jadi tercukupi berkat imbalan yang diberikan. Terkadang kita lalai, terkadang pula mungkin sempat mengambil yang bukan menjadi hak kita. Namun, tidak membuat kita diberhentikan dari pekerjaan. Apa yang terjadi kemudian?

Suatu ketika orang itu berbuat sesuatu yang membuat perasaan kita tersakiti, maka serta-merta hilanglah segala kebaikan yang selama ini ia berikan. Yang melingkar di dalam pikiran justru keburukan yang pernah dilakukannya kepada kita itu, walau mungkin hanya satu kali. Bukan tidak mungkin pula, hal itu hanya sebuah kesalahpahaman. Nah, bisakah harga diri kita pertahankan bila memiliki karakter demikian? Sanggupkah kita mengubah persepsi negatif terhadap orang lain yang justru diakibatkan oleh peremehan kita terhadap jasa orang tersebut? Mari kita renungkan dalam-dalam! Wallahu a'lam bisshawab.

Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar